Memaknai Kebahagiaan dalam Novel Happiness Battle karya Joo Youngha

Dalam hidup ini siapa sih yang tidak ingin bahagia? Saya yakin setiap manusia pasti selalu menginginkan hal tersebut, right? Bahkan,  setiap manusia tersebut mempunyai caranya masing-masing, walaupun dengan cara yang kadang kurang tepat. Seperti melakukan ini itu agar “dianggap” bahagia oleh orang lain.

Sehingga enggak jarang bila di masa seperti sekarang, dengan adanya beragam jejaring sosial menjadi jembatan pula untuk orang berlomba-lomba “merasa” bahagia. Rasa-rasanya merasa bahagia menjadi sebuah ajang estafet untuk mencari sang juara kebahagiaan. Siapa yang paling sering menampilkan suatu momen bahagia, seolah-olah dia-lah pemenangnya.

Akan tetapi pada kenyataannya, hidup ini tidak selalu bahagia right? Adakalanya rasa kecewa, dilema, marah, takut muncul tanpa aba-aba. Kadang kala emosi meluap tanpa disadari. Namun hebatnya, manusia yang bersaing untuk menjadi sang juara kebahagiaan tersebut akan menampilkan hal yang berbeda. Ya, menampilkan hal berbeda sebatas dalam bingkai dunia maya.

Seperti halnya kisah dalam Novel Happiness Battle karya Joo Youngha ini. kebahagian seperti sebuah tropi yang harus didapatkan. Bahkan, telah menjadi gaya hidup yang wajib ditampilkan pada keseharian. Setiap unggahan dalam media sosial penggunanya harus menampilkan hal-hal sempurna, tanpa cacat dan cela. Sehingga enggak jarang, bila terlihat sedih atau memakai sesuatu yang kurang estetik, elegan serta sederhana sedikit saja bisa menjadi sebuah aib yang tak terbantahkan.



Happiness Battle merupakan sebuah novel terjemahan karya Joo Youngha. Novel ini diterbitkan pertama kali oleh Gramedia Pustaka Utama di Jakarta pada 2022. Novel berjumlah ± 296 halaman ini secara garis besar bercerita tentang pencarian makna bahagia. Sebab di dalam novel digambarkan, bila bahagia adalah sumber setiap tokoh dalam memperebutkan gelar kemenangan.

Sehingga tidak heran, bila para tokoh yang notabene merupakan masyarakat kalangan menengah atas tersebut berupaya menampilkan yang terbaik. Seolah-seolah kata sempurna memang menjadi identitas tokoh yang sebenarnya. Namun pada kenyataannya, kepura-puraan tiap tokoh tersebut malah membawa pada persaingan, perselisihan, permusuhan hingga kematian.

Dalam hal ini bukahkah sebuah kewajaran bila pada dasarnya manusia itu tidak sempurna? Toh, mempunyai satu, dua kekurangan tidak akan mengubah kita sebagai makhluk luar angkasa ‘kan? 

Adakalanya mungkin manusia sudah perlu menurunkan standar dan gengsi, terhadap arti bahagia yang telah mendarah daging dalam masyarakat. Seperti halnya bahagia itu harus mempunyai gaya hidup yang serba mewah, pendidikan prestisius dan sebagainya. Adakalanya manusia itu perlu merenung, bila bahagia itu pun bisa didapatkan melalui hal-hal kecil dan sederhana.

"Mana ada yang dinamakan kebahagiaan sempurna di dunia ini? Itu hanya delusi." Salah satu kutipan dalam Novel Happiness Battle.

Saya kira dengan menurunkan standar “bahagia” tersebut, manusia lebih bisa berpikir jernih untuk bisa mengenali diri sendiri, mengenali kemauan dan tujuan hidupnya sendiri. Lagi pula, setiap manusia mempunyai pemberhentian yang berbeda-beda bukan?

Dari Novel Happiness Battle saya belajar, bila sebagai manusia kita tidak perlu memaksakan diri untuk terlihat bahagia. Manusia hanya perlu menjadi diri sendiri. Sebab bagaimana pun cara manusia memaksakan diri untuk terlihat bahagia sama halnya orang lain, sejatinya tanpa disadari mereka terjebak dalam standar “kebahagiaan” orang lain.

"Manusia adalah makhluk yang lebih dekat dengan kesedihan daripada kebahagiaan." Salah satu kutipan dalam Novel Happiness Battle.


Hikmatul Ika

Manusia yang menyukai dunia kepenulisan, baik sebagai blogger dan Pengarang.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form