Bualan Intuisi

Meskipun enggak semua kata hati itu benar, tapi alangkah lebih baik untuk dipikir ulang. Bukankah penggerak seluruh tubuh ini, hati?"

Sebatas kisah di akhir pekan ramadan– 

"Besok ngapain ya? Sepertinya duduk-duduk di bukit sambil corat-coret, asyik deh!" begitu ungkap saya setelah tahu bila esok akhir pekan. Walhasil seusai "berdiskusi secara pribadi”, saya menyiapkan rencana untuk bersepeda pagi.

Sebenarnya sudah lama merencanakan hal ini, tapi bagaimana bila kasur lebih menggoda dari hamparan pasir di sana? Sekarang pun selagi di bulan puasa, sembari mengikuti aktivitas di tahun sebelumnya; pantai masih menjadi salah satu rekomendasi menyambut pagi. 

Dikeesokan harinya, kurang lebih pukul 04.55 WIB saya melayangkan aksi. Meski sedikit bimbang sebab prediksi cuaca terbaca suhu 34°C dengan gambar awan disertai hujan. Akan tetapi saya tak terlalu menghiraukan. Sebab beberapa hari melalui prediksi cuaca yang sama, hanya dihiasi mendung yang bergelantungan. 

Namun dalam separuh perjalanan, ada perasaan was-was. Satu perasaan yang entah bagaimana muncul setelah beberapa kali memandang awan di singgah sana yang menghitam. "Bukankah memang masih pagi, maklumlah jika masih gelap?" gerutu saya mencoba menenangkan diri. 

Hingga sampailah di tempat tujuan; yang awalnya hanya ingin duduk-duduk di bebukitan, saya malah terus mengarah ke selatan–menuju pesisir pantai. 

“Bukankah kita hanya duduk-duduk di bebukitan? Kenapa malah terus?” ungkap hati.

“Toh pantainya ada di depan mata, apa ruginya bila kita lihat pemandangan pantai juga?” gerutu logika.

“Tapi bukan itu rencana kita ‘kan? Ra, ayo kita pulang saja.” 

Lagi–mereka berdua berdebat dan saya memutuskan untuk mengabaikan perkataan hati.

Tidak perlu ditanya bagaimana pantai menyambut dengan ramah. Deburan ombak yang memecah keheningan bumi; seolah-olah mengucapkan selamat datang dengan begitu elegan. Juga dengan burung-burung yang beterbangan ke sana-sini. Rerumputan yang masih ada bercak-bercak embun, dan benteng kabut yang tidak terlalu tebal–cukuplah untuk memanjakan mata dan jiwa. Sayang, andaikan mentari dapat berdiri gagah di ujung timur sana; pasti pemandangannya lebih sempurna.

Tidak kurang dari dua menit bercengkerama dengan pantai. Saya menyerah dengan kata hati yang selalu mengajak pulang. 

“Sudah cukup ‘kan memandang pantainya? Ayo kita segera pulang” begitu ungkap isi hati. 

“Sia-sia dong kita menghabiskan waktu lima belas menit kalau hanya dua menit di sini. Ra, tidak bisakah kita lebih lama lagi?” sanggah logika.

Saya memandang sekitar berupaya menimang dan mencoba dengan ‘sok’ membaca alam. Kalau dipikir dan dirasakan, hari ini suasananya memang cukup aneh. Masih pagi, tapi angin bertiup cukup kencang dan kondisi udara yang tidak bisa saya ungkapkan dengan kata-kata. Namun yang jelas, saat itu mengapa saya mencium bau hujan?

Akhirnya saya memutuskan mengambil langkah, membawa sepeda menjauhi pantai. 

Dalam perjalanan pulang, ternyata masih ada pengunjung yang berdatangan. Beberapa seperti saya, menikmati dengan bersepeda pagi, ada yang jalan kaki dan sesekali pengunjung datang dengan motornya. Namun saya sudah tidak tertarik untuk kembali. Toh, alasan pergi ke sini pagi-pagi untuk menghindari orang-orang. Semakin siang, saya rasa pengunjung semakin berdatangan.

“Eh, lihat Gunung Semeru itu” tutur logika tiba-tiba.

Pelan-pelan saya mengerem sepeda. Dari kejauhan Gunung Semeru terlihat menajubkan. Kemudian saya putuskan mengambil beberapa gambar untuk dokumentasi.

“Enggak mau pulang saja?” ujar hati.

“Kita ‘kan sudah dalam perjalanan pulang, apa salahnya mengambil gambar satu, dua sih?” sanggah logika.

Sebelum memutuskan saran dari hati dan logika, lagi-lagi saya mencoba membaca sekitar. Angin masih bertiup cukup kencang. Awan masih menghitam meski matahari saat itu seharusnya berdiri setidaknya 30 derajat dan bau hujan belum juga menghilang. Saya memang memutuskan untuk mengambil beberapa gambar dengan cepat. Selain perasaan khawatir yang sudah mulai menguasai, bau yang cukup mirip dengan petrikor semakin menyengat indra penciuman.

“Jangan lama-lama” peringatan hati berkali-kali.

Satu, dua gambar telah saya dapatkan. Tiba-tiba saat mengambil gambar selanjutnya, setetes air jatuh. Perasaan khawatir saya kini menjadi kenyataan. Kemudian tanpa berpikir panjang, saya putuskan untuk menggayuh sepeda dengan sekuat tenaga, menuju tempat berteduh yang muncul pertama kali dipikiran–gerbang pintu masuk pantai.

Ya, ampun! Bukannya cemas, saya malah menertawan diri. Saya jadi teringat masa-masa SMA dulu yang sering kali pulang kehujanan dan harus mencari tempat berteduh karena lupa tidak membawa jas hujan. 

Saya pun pernah menyengajakan diri menembus hujan bersama seorang teman, sambil ketawa-ketiwi di tengah perjalanan. Bukannya menyesal karena menggigil, kami malah berdiskusi tentang judul apa yang bagus bila kisah itu kami tulis dalam cerita fiksi? Eh, maklum kami mempunyai hobi yang sama hehe.

Ternyata bila direnungi lebih dalam lagi, setiap kejadian ataupun peristiwa yang telah dilalui itu banyak sekali hal bisa dipetik hikmahnya yaa... ah, salah! Banyak hal yang mesti ditertawakan. Contohnya saja seperti pertistiwa saya waktu itu. Rencana awal yang ingin menyelam sambil minum air, eh airnya malah turun dari langit. Jadinya enggak bisa nyelam, bisanya diguyur dong! 

Padahal hari sebelumnya sudah disiapkan dengan sangat matang, dari mengelap sepeda yang mulai jadi sarang laba-laba, memompa ban yang sedikit mengempis, memilih buku saku dan pulpen yang ingin digunakan untuk menulis. Namun saya juga tahu, bila tidak semua rencana akan berjalan lancar. 

Lantas selama hampir satu jam terjebak hujan, saya malah terhanyut oleh berbagai pertanyaan. Bahkan dalam perjalanan pulang, saya masih dipenuhi tanya yang salah satunya tentang mengapa bisa merasakan hal-hal  seperti tadi, misalkan satu firasat yang mengharuskan untuk pulang dan tanda-tanda akan sesuatu seperti akan turun hujan? 

Apakah itu yang disebut intuisi ataukah hanya sebatas insting belaka? Walhasil sesampai di rumah, saya sedikit mengorek tentang apa itu intuisi dalam beberapa sumber sebagai berikut.

Dalam KBBI intuisi diartikan sebagai daya atau kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari; bisikan hati; gerak hati. Menurut Butler (dalam Sriningsih) intuisi merupakan sekumpulan proses fisik yang membuat seseorang tetap bertahan hidup, yang berlangsung tanpa disadari dan memberi sinyal-sinyal mengenai apa yang telah terjadi dan apa yang bakal terjadi. Lebih jelasnya intuisi biasanya diikuti dengan semacam perasaan (emosi) yang kuat, yang tidak biasa, seperti perasaan tidak enak (was-was, khawatir) atau perasaan sedih yang sulit dijelaskan atau ketakutan yang sangat besar.

Menurut Jung Intuisi merupakan mengejawantahan data-data yang bersumber dari “hati”. Data-data dari hati yang dimaksud adalah keadaan emosi atau reaksi-reaksi emosi terhadap pengalaman masa lalu, atau berdasarkan bentuk-bentuk emosi dan estimasi diri bagaimana seseorang akan merasakan sesuatu setelah memutuskan sesuatu. Bisa dikatakan bila intuisi merupakan suatu kemampuan yang berperan untuk mempertahankan hidup yang bersumber dari pengalaman dan kepekaan seseorang.

Selain itu insting dalam KBBI diartikan sebagai daya dorong utama pada manusia bagi kelangsungan hidupnya (seperti nafsu berahi, rasa takut, dorongan untuk berkompetisi); dorongan untuk secara tidak sadar bertindak yang tepat.

Meskipun intuisi dan insting mempunyai tujuan yang sama yakni untuk mempertahankan kelangsungan hidup, tapi keduanya berbeda. Insting merupakan bawaan sejak lahir, sedangkan intuisi ada karena dipelajari dari berbagai pengalaman.

Dari beberapa penjelasan tersebut, saya jadi ingat nunchi. Apakah intuisi dan nunchi itu sama, hanya penyebutannya yang berbeda? Toh, keduanya bisa dikatakan sebagai cara untuk mempertahankan hidup dan bisa dipelajari; yang terpenting keduanya perlu dikuasai dengan cepat (dalam waktu yang singkat). *untuk yang belum tahu apa itu nunchi bisa dibaca Review Nunchi karya Euny Hong.

Bisa juga kejadian yang saya alami dikarenakan kurang bersyukur. Bukankah manusia itu diberi emosi (sebuah perasaan)? Bahkan sebelum berangkat tanda-tandanya sudah jelas, diprediksi cuaca akan hujan dan awan mendung. Namun kok masih nekad berangkat? Berkali-kali pula hati mengingatkan dan bagaimana? Memang kadang mereka berdua (hati dan logika) itu susah disatukan ya? Lalu saya, malah mengikuti keegoan diri *hem, memang dasar manusia!

Bualan Intuisi - Titik Literasi - Pantai Selatan-Wotgalih

Meskipun enggak semua kata hati itu benar, tapi alangkah lebih baik untuk dipikir ulang. Bukankah penggerak seluruh tubuh ini, hati?

Lantas, apakah tanda-tanda yang saya rasakan itu  termasuk intuisi?

Hikmatul Ika

Manusia yang menyukai dunia kepenulisan, baik sebagai blogger dan Pengarang.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form