[Cerpen]: Putih di Musim Semi (sudah diterbitkan dalam antalogi Cerpen Korean In Love)




“Jangan maafkan aku Mi Yeong-ah”

Tidak ada kata lagi setelah itu. Hening, senyap dan hanya tertinggal isak tangis yang meledak tanpa henti. Gadis itu menatap dengan kecewa, sedangkan laki-laki itu langsung beranjak meninggalkan gadisnya tanpa menoleh lagi. “Mi Yeong-ah jangan maafkan aku,” tuturnya dan tanpa terasa bulirnya pun pecah.


Gadis itu terkesiap dari tidurnya. Ketika bola matanya terjaga, dia langsung melirik gorden yang sudah dipenuhi semburat terang sang surya. Lalu dia berusaha mendaratkan kedua kakinya, di atas lantai yang terhampar karpet berwarna merah muda. Tetapi dia langsung tercenung, saat pandangannya menemukan tisu yang berserakan di bawah tempat tidurnya. Lagi-lagi kenapa bulir ini selalu pecah, saat nama yang tak diinginkannya datang? Oh Tuhan, mengapa semua ini terjadi padaku? Gerutunya dalam hati.

“Ah... Eouni sudah bangun?” sapa seorang gadis seraya duduk di tepi ranjang kakaknya. Dia tetap menatap lawan bicaranya dengan ramah, menunggu meski tak ada tanggapan sama sekali. “maaf, kemarin aku tidak bisa menjemputmu,” ucapnya bersalah saat mendapati kamar kakaknya bak kapal pecah. Dia sangat menyesal dan berpikir bahwa ini karena ulahnya. Namun wajahnya langsung cerah saat kakaknya bilang tidak apa-apa. Ya, Tuhan... mengapa dia selalu seperti ini? Bahkan aku tidak bisa membencinya, gerutunya lagi ketika menatap adiknya yang selalu terlihat ceria.
“Eouni, ayo cepat! Nanti kita bisa terlambat,” dengan mengenakan seragam khas musim semi, adiknya bertutur sembari berlari menuruni anak tangga, sedangkan seseorang yang dipanggilnya hanya menatap diri dari pantulan cermin, menatap tajam sembari menghembuskan napas dengan berat.

“Eouni, cepat!” gerutunya kembali. Setelah mendengar panggilan yang kedua itu dia langsung keluar kamarnya dengan malas. Seharusnya ini adalah musim semi yang paling ditunggu-tunggunya ‘kan?
“Joo Hyun-ah!” teriak Mi Yeong kepada adiknya yang sudah berbelok ke arah kanan di persimpangan jalan. Dia tidak bisa mengejarnya, bahkan tidak menyangka Jo Hyun bisa berlari secepat itu. Saat Mi Yeong berhasil mengejar Joo hyun, dia terpaku menatap dua pemuda yang tengah mengobrol akrab dengan adiknya. Kaki Mi Yeong langsung membeku, ketika menangkap tatapan dari salah satu pemuda itu. “Mengapa dia ada di sini?”  

“Mi Yeong-ah” ucapnya terkejut. 
“Jong Woon Oppa dan eouni sudah kenal?” keduanya mengangguk lalu bergeming beberapa detik. Kemudian Joo Hyun mengarahkan pandangannya ke arah pemuda yang ada di sisi kirinya mengisaratkan pertanyaan serupa. Tentu saja pemuda itu juga mengangguk. Dengan menarik bibir bak mawar merah merekah, mulai bermunculanlah pertanyaan dalam pikirannya, bagaimana, kapan dan apa hanya dia yang belum tahu tentang kakak dan kedua pemuda yang ada di sampingnya ini?

“Seo Joo Hyun-ah bila kita menjawab semua pertanyaanmu sekarang, kita bisa terlambat,” potong Jung Soo sambil mencubit pipi kiri Joo Hyun. Ketiganya langsung tersadar dan bergegas ke sekolah.

Sembilan tahun lalu sebelum Mi Yeong pindah ke Amerika, Jung Soo dan Jong Woon adalah teman satu kelasnya. Mereka kerap kali bermain bersama dan tiap musim semi datang, mereka selalu menekan tuts piano dan menyanyikan lagu di musim itu. Memang benar bertiga, hanya saja Jong Woon lebih memilih duduk seraya mendongak, memandang ujung dedaunan yang mulai menumbuhkan tunasnya.

Jong Woon adalah teman yang paling misterius, paling cuek, dan seenaknya sendiri, begitulah pendapat Jung Soo tentangnya. Akan tetapi dia asyik, setia dan seorang pendengar yang baik. Berbeda dengan Jung Soo, dia mudah bergaul, terbuka, meskipun sedikit cerewet dan selalu terlihat ceria. Itulah alasan Jong Woon berteman dengannya. Mungkin dengan selalu berada di samping Jung Soo, dia bisa ikut cerewet dan terbuka kepada dunia luar. Lantas seperti halnya Jung Soo, Mi Yeong adalah gadis yang ceria.
Sembilan tahun lalu, masalah pelik melanda keluarga Mi Yeong. Perbedaan pendapat sering kali terjadi, diantara kedua orang tuanya. Dia jemu berada dalam rumah yang selalu membuat dua kubu besar dalam keluarganya. Sebagai anak tunggal, hal itu membuatnya kecewa sekali, saat kedua kubu itu akhirnya memilih untuk berpisah. Ayah Mi Yeong membawanya ke Amerika. Namun Mi Yeong tidak tahan hidup di sana. Kehidupannya berbeda sekali dengan di Korea Selatan. Tidak ada Jung Soo, Jong Woon yang kerap kali menemaninya saat musim semi tiba. Tidak ada lagu musim semi, apalagi Gurye Sansuyu Festival. Semua lenyap. 

Tiga tahun setelah perceraian, Ibu Mi Yeong memutuskan untuk menikah lagi dengan seorang duda beranak satu. Seorang putri seusia Mi Yeong, hanya berbeda dua bulan. Mi Yeong senang sekaligus sedih mendengar kabar terakhir itu, sebelum akhirnya ayahnya mengirimnya kembali ke Korea Selatan enam tahun kemudian.

“Wah, musim semi yang menyenangkan,” tutur Jo Hyun sembari menghirup udara dengan hikmat. Keempatnya hanya melangkah, menyusuri jalur dinding berbatu yang dipenuhi bunga berwarna kuning sepajang dua kilometer dengan membisu, mencermati, juga memuji keindahannya. Mereka seperti tak membutuhkan teman bicara, memangnya untuk apa? Mereka terlalu sibuk merangkai kenangan. Kenangan yang terlewati sembilan tahun silam.

“Kamu hanya perlu menggerakkan kakimu untuk menggayuh. Fokuslah ke depan supaya tidak menabrak, oke?” gadis yang sedang duduk di atas sepeda hanya bisa menggeleng harap-harap cemas, karena sudah berkali-kali mereka harus mengulang. Ini sungguh tidak mudah, rutuknya. Akan tetapi seseorang yang ada di belakangnya hanya bisa tersenyum simpul, sembari memegangi sadel bagian belakang.

“Dalam hitungan ketiga, kamu harus menggayuhnya pelan-pelan dulu, mengerti?” perintahnya lagi. Gadis itu hanya mengangguk tanpa menoleh kesana-kemari. Itu adalah hal yang akan membuatnya semakin gugup. Dalam hitungan ketiga, roda sepeda mulai berputar menyibak bunga sansuyu yang tengah bergelantungan. Gadis itu sangat senang dapat menggayuh sepeda. Saking senangnya, dia berteriak, tertawa dan menoleh ke belakang memandang seseorang yang berdiri dengan melambaikan tangan. Reflek, dia langsung kehilangan arah dan terjatuh. Dasar ceroboh!

“Maaf, seharusnya aku tidak jauh-jauh darimu,” tuturnya seraya mengelap luka gadis di siku kiri dengan kaos yang dipakainya. “dan seharusnya aku tadi tidak melambaikan tangan,” lanjutnya. Gadis itu hanya tersenyum, rasa sakitnya hilang hanya dengan melihat kepolosan orang di sampingnya.

“Bukan salahmu, aku yang terlalu ceroboh. Seharusnya aku tidak menoleh kebelakang saat bersepeda ‘kan? Aku minta maaf, kaosmu menjadi kotor begini.” 

Temannya hanya menggeleng, apa pentingnya kaos ini? Memang kaos yang berharga. Namun apa tega dia membiarkan gadis ini terluka? Kepada gadis yang berhasil membuat dia rela melakukan apa saja, termasuk mengotori kaos kebanggaannya-kaos putih kesukaannya. Anak-anak yang lucu. Bahkan, tanpa mengutarakan perasaan pun mereka sudah tahu, bahwa mereka saling menyukai.

“Park Jung Soo Oppa, ayo kita ke sana,” ajak Joo Hyun sembari menggenggam tangan kanan Jung Soo dengan manis, mengarah ke keramaian yang ada di depan mereka. Jung Soo hanya mematung, bahkan dia tidak berani secara langsung melirik kakak Joo Hyun. Bimbang awalnya saat mendapati dia menundukkan kepala. Namun akhirnya dia beranjak ketika untuk kedua kalinya Joo Hyun kembali mengajaknya. Benar. Hari ini hari istimewa, Gurye Sansuyu Festival.

Ketika bayangan Jung Soo dan Joo Hyun sudah menghilang. Tinggallah Mi Yeong dan Jong Woon dalam diam. Keduanya terpaut dalam kebisuan. Terutama Mi Yeong yang sedang berjalan dengan gontai. Dia tidak bisa melangkah lagi, rasanya kakinya tiba-tiba membeku. Jong Woon bingung, apalagi saat Mi Yeong terduduk di jalan yang dingin disertai isak tangis yang tiba-tiba merebak. 

“Mengapa harus aku Jong Woon?” tanya Mi Yeong yang sudah dibanjiri bah air mata, sedangkan seseorang yang ditanya hanya bergeming. Dia lalu berjongkok dan mengelus punggung Mi Yeong yang masih histeris.

Sore itu Mi yeong menarik kopernya, sembari berjalan menuju rumah lamanya di Desa Sangwi. Sebenarnya ibunya sudah menyuruh Joo Hyun untuk menjemput Mi Yeong di bandara. Namun satu jam lebih Mi Yeong menunggu, batang hidung Joo hyun tidak muncul-muncul juga. Akhirnya, dia memutuskan untuk pulang sendiri. Toh, ingatannya masih kental dengan daerah di sana.

Lantas di sore itu, dalam box telepon di persimpangan jalan rumahnya, Mi Yeong tergugu. Bahkan tanpa ada perintah untuk keluar pun bulir itu langsung banjir, pecah, meledak. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi padanya? Orang yang sangat dia rindukan, orang yang selalu ada untuknya, sekarang tengah berciuman dengan adiknya.

“Mi Yeong-ah. Aku sangat bersalah padamu, tapi sungguh Mi Yeong-ah aku tidak pernah berniat untuk mempermainkanmu.” 

“A-pa kau sa-ngat me-yu-kai Seo Joo Hyun? A-pa k-au be-nar-be-nar men-yu-kai-nya?” tanya Mi Yeong dengan sedikit terbata. Orang yang dihadapannya hanya mengangguk pelan. Mi Yeong yang mengetahui itu, bulirnya langsung bertambah deras. Dia tergugu, tidak tahu harus berkata apa.

“Maafkan aku Mi Yeong-ah... tidak! Jangan maafkan aku Mi Yeong-ah,”

“Baiklah. Aku tahu kau sangat tulus padanya. Jadi, tolong jaga dia untukku.” Dia berusaha menghapus bulir di pipinya. Dengan masih terisak, dia kembali melanjutkan, “Kau tahu? Kalau kau terlihat tampan dengan kaos putihmu itu Park Jung Soo.” Setelah mengatakan itu, Mi Yeong sulit sekali untuk menghentikan isak tangisnya. Kalimat itu begitu menyedihkan. Benar, kalimat perpisahan apapun akan selalu menyedihkan.

Hikmatul Ika

Manusia yang menyukai dunia kepenulisan, baik sebagai blogger dan Pengarang.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form