[Prosa]: Mengeja Rindu (sudah diterbitkan dalam antalogi FiksiMini Nostalgia)


Tanpa sengaja kembali meniti waktu. Aku sadar bahwa tak ubahnya sepi menjelma menjadi sebuah keharusan. Setidaknya saat itu dalam waktu yang begitu singkat, aku membantu menghalau sunyi di istanamu. Meski kehadiranku tak banyak menciptakan canda dan hanya berjibagu pada keegoisan. Bila dipikir-pikir, memang istana itu tak berbeda jauh di tempat mana dulu aku dilahirkan, hanya saja kau tak menyuguhkan kebisuan. Namun memberikan hak mutlak untuk seorang putri.


“Untuk apa punya gawai kalau tidak dibawa?” itu bukanlah sindiran, tapi buah protes yang kesekiankalinya. Namun aku mempertahankan pendirian sebelum menyerah dengan protes lainnya.

Saat itu aku baru duduk di bangku SMA, masih terlalu polos dengan ketentuan yang melarang membawa gawai ke sekolah. Meski sejatinya sangat keras kepala, tapi selalu ciut bila berhadapan dengan peraturan apalagi harus beratatapan dengan guru tata tertib. Mungkin karena sikap teladan di sekolah, dia kadang memberiku ruang untuk mengeksplorasi diri.

“Baca buku diktatnya, jangan novel terus” tuturnya kerap kali melihatku membuka novel di meja belajar.

Tak ada yang bisa dilakukan waktu itu, selain harus menutup novel dan berpura-pura belajar. Ya, setidaknya aku tidak akan mendengar lagi bentuk protesnya.

Namun aku lupa mempertanyakan hal yang sama pada diri atau mungkin, karena memilih untuk tidak ingin mengindahkan semua celoteh ataupun bentuk protes-protesnya selama ini? 

Aku sungguh pandir! Terlalu pandir untuk mengerti semua.

Memang aku tidak lahir dari rahimnya. Jangankan begitu, dia bukanlah seseorang yang berpengaruh dalam hidupku. Bukan siapa-siapa kecuali seorang kerabat jauh, tapi ada satu hal yang membuat enggan menutup mata. Satu hal yang tak kurasakan lagi tiga tahun terakhir. Apakah setiap wanita memiliki insting yang sama?
Baru saja aku merasa diperhatikan, padahal sudah lupa bagaimana rasanya. Aku lupa bagaimana ibu mengomel, marah, dan lupa bagaimana ibu pernah memberikan kasihnya. Seberkas pun tak lagi bisa diingat. Apakah karena aku begitu rindu?

Ya, sekarang memang aku sadar. Dia sudah membawa rinduku pulang dengan selamat. Tak ada cacat sedikitpun, bahkan lebih berkilau dari sebelumnya.

Benar! Kini rinduku berpulang lewat kekhawatirnya. Dia terlalu mencemaskan aku, hingga dia selalu menyuruh untuk membawa gawai kemana pun pergi. Dia bahkan tak memberikan celah pada insting keibuan untuk mengingatkan anak belajar. Aku baru sadar semua itu tulus. Meski kenyataannya aku dan dia memiliki rindu yang berbeda.

Hikmatul Ika

Manusia yang menyukai dunia kepenulisan, baik sebagai blogger dan Pengarang.

Previous Post Next Post

Contact Form