Indonesia
adalah sebuah negara yang terdiri atas beraneka ragam suku bangsa, etnis atau kelompok
sosial, kepercayaan, agama dan kebudayaan yang mendominasi khazanah budaya Indonesia.
Dengan semakin
beraneka ragamnya masyarakat dan budaya, setiap individu maupun masyarakat memiliki
keinginan yang berbeda-beda. Orang-orang dari daerah yang berbeda dengan latar
belakang yang berbeda, struktur sosial dan karakter yang berbeda, memiliki
pandangan yang berbeda dengan cara berpikir dalam menghadapi hidup dan
masalahnya. Untuk itu diperlukan paham multikulturalisme untuk mempersatukan
bangsa termasuk dalam hal berbahasa Indonesia.
Multikulturalisme
adalah sebuah filosofi yang tafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki adanya
persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial
politik yang sama dalam kehidupan masyarakat. Secara etimologis
multikulturalisme terdiri atas kata multi yang berarti plural, kultural yang
berarti kebudayaa, dan isme yang berarti aliran atau kepercayaan. Jadi,
multikulturalisme secara sederhana adalah paham atau aliran tentang budaya yang plural.
Dalam
pengertian yang lebih mendalam istilah multikulturalisme bukan hanya pengakuan
terhadap budaya (kultur) yang beragam, melainkan juga pengakuan yang memiliki
impiklasi-implikasi politik, sosial, ekonomi, dan lainnya.
Dalam KBBI
multikulturalisme adalah gejala pada seseorang atau suatu masyarakat yang
ditandai oleh kebiasaan menggunakan lebih dari satu kebudayaan.
Multikulturalisme
berhubungan dengan kebudayaan dan kemungkinan konsepnya dibatasi dengan muatan
nilai atau memiliki kepentingan tertentu.
Masyarakat multikultural adalah
masyarakat yang terdiri atas beberapa macam, komunitas budaya dengan segala
kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu sistem
arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat, dan kebiasaan. (Parekh
dalam Suryana,2015:100).
Terlepas
dari perbedaan pendapat tentang multikulturalisme apakah menjadi perpecahan
ataukah justru menjadi pemersatu bangsa, hal yang harus diwaspadai adalah
munculnya perpecahan etnis, budaya dan suku dalam bangsa.
Bangsa
Indonesia memiliki bermacam-macam kebudayaan yang dibawa oleh banyak suku, dan
adat istiadat yang tersebar diseluruh nusantara. Dari Sabang sampai Merauke
kita telah mengenal suku yang majemuk, seperti suku Jawa, Madura, Batak, Dayak,
Asmat dan lainnya. Semua itu memiliki keunggulan dan tradisi yang berbeda-beda
satu dengan yang lainnya.
Bangsa
Indonesia sangat kaya dengan suku, adat istiadat, budaya, bahasa dan khazanah yang
lain ini. Apakah hal tersebut menjadi sebuah kekuatan bangsa ataukah justru
berbalik menjadi faktor pemicu timbulnya disintegrasi bangsa? Seperti yang
telah diramalkan Huntington, keanekaragaman di Indonesia harus diwaspadai. Hal
itu disebabkan telah banyak kejadian yang menyulut pada perpecahan, yang
disebabkan adanya paham sempit tentang keunggulan suku tertentu.
Multikuturalisme
di Indonesia juga mencakup keanekaragaman kultur berbahasa, masyarakat di
Indonesia memiliki kemajemukan dalam berbahasa disetiap budayanya. Contoh Suku
Badui, bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda dialek Sunda Banten.
Untuk
berkomunikasi dengan masyarakat luar mereka lancar menggunakan bahasa
Indonesia.
Contoh lain bahasa Betawi, sikap campur aduk dalam dialek Betawi
adalah cerminan dari kebudayaan betawi secara umum yang merupakan hasil
perkawinan berbagai macam kebudayaan. Meskipun bahasa formal yang digunakan di
Jakarta adalah bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan
sehari-hari adalah bahasa Indonesia dengan dialek Betawi.
Contoh lain Suku
Jawa, kelembutan yang selalu menjadi ciri khas bahasa yang digunakan orang
Jawa. Dari beberapa contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa politisasi
identitas budaya banyak terjadi perbedaan baik di dalam maupun dari luar namun
bahasa Indonesia tetap menjadi identitas dan alat pemersatu bangsa Indonesia.
Pembinaan
bahasa Indonesia dalam masyarakat multikultural
Sebenarnya
masyarakat Indonesia telah akrab dengan moto Bhineka Tunggal Ika. Namun
sayangnya moto tersebut selama ini hanya menempati kesadaran kognitif
masyarakat pada umumnya dan belum diimplementasikan secara nyata dalam
kehidupan sosial masyarakat sehari-hari.
Konsep
multikulturalisme tidak dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara
suku bangsa kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk karena
multikulturalisme menekankan keanekaragaman dalam kesejahteraan. Bahasa
dilestarikan atau diturunkan dari satu generasi ke generasi lain secara budaya.
Artinya bahwa sistem kebahasaan itu terus dipelajari oleh setiap penutur
bahasa. Bahasa tidak diwariskan secara biologis dari generasi ke generasi
berikutnya. Memang betul manusia dianugerahkan untuk berbahasa (Innate ability)
tetapi konvensi kebahasaan apapun juga (kosa kata, aturan gramatik) diturunkan
dengan diajarkan dan dipelajari (Alwasilah, 1993:34).
Kenyataan ini menandakan
bahwa perbedaan bahasa bukan hal yang sederhana, buktinya orang-orang dari
berbagai tempat dan berbeda latar budaya tidak selalu saling mengerti sewaktu
berbicara dengan mitra tutur yang berbeda bahasa. Hanya
dengan mempersempit perselisihan budaya yang tidak kondusif, siklus kehidupan
sosial masyarakat yang majemuk akan terwujud dalam prinsip dasar yang
dapat saling menghargai, menghormati dan
menjaga satu dengan yang lain.
Menurut
Sitaresmi (dalam Suryana, 2015:195), paradigma multikulturalisme pada anak
dapat dilakukan melalui cara-cara berikut.
Menyampaikan
pesan tentang multikulturalisme dengan memberikan contoh kehidupan sehari-hari.
Secara
tidak langsung, yaitu dengan menyampaikan cerita yang berisi tentang
multikulturalisme, antara lain dari dongeng, legenda dan fabel.
Berdasarkan
pandangan dan konsep tersebut, multikulturalisme memiliki relevansi makna dan
fungsi yang tepat. Oleh sebab itu, konsep tersebut menjadi penting dikembangkan
dan diinternalisasikan dalam proses transformasi nilai-nilai bagi masyarakat
bangsa yang beragam.
Dengan
pendidikan multikultural peserta didik mampu menerima perbedaan, kritik dan memiliki
rasa empati serta toleransi pada sesama tanpa memandang golongan, status,
genre, dan kemampuan akademis (Farida Hanum, dalam Suryana, 2015:197)
Jumlah
bahasa yang digunakan di Indoesia cukup banyak.
Menurut Kaswanti (2000:8)
Indonesia memiliki bahasa daerah sebanyak 706. Dari jumlah tersebut sebagian
besar terdapat di Irian Jaya. Dengan jumlah tersebut, Indonesia memiliki bahasa
daerah terbanyak kedua setelah Papua Nugini. Menurut Pusat Bahasa, jumlah
bahasa daerah di Indonesia kurang lebih 670. Dari jumlah tersebut, hanya
kira-kira 50 bahasa yang dalam keadaan
safe “kokoh”. Sisanya yang jumlahnya kurang lebih 620 dalam keadaan
“mengkhawatirkan” karena jumlah penuturnya dibawah 100.000 orang. Kondisi ini
akan membuat dinamika bahasa selalu memunculkan dialek-dialek yang
berbeda-beda. Bisa dibayangkan jika satu bahasa memiliki sejumlah dialek, maka
jumlah ini akan berubah berlipat ganda. Bahasa Jawa saja misalnya memiliki
dialek jawa Banyumasan, Dialek Joglo, dan Dialek Jawa Timuran. Budayanya pun menjadi
varian yang berbeda dari budaya induknya dan belum bahasa-bahasa etnis di luar
Jawa.
Realitas
masyarakat multikultural dapat dilihat pula dari adanya permainan bahasa yang
hidup dalam masyarakat kita sebagai akibat kontak antarbahasa. Permainan bahasa
adalah eksploitasi unsur atau (elemen) bahasa, seperti bunyi, subkata, bagian
kata, kata, frasa, kalimat, dan wacana sebagai pembawa makna atau amanat
(maksud) tuturan sedemikian rupa sehingga elemen itu secara gramatik, semantik,
maupun pragmatis akan hadir tidak seperti semestinya (Wijana, 2001).
Ada
berbagai teori mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan. Ada yang mengatakan
bahasa itu merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi ada pula yang mengatakan
bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun mempunyai
hubungan yang sangat erat, sehingga tidak dapat dipisahkan. Pernyataan juga
terlontar bahwa bahasa sangat dipengaruhi oleh kebudayaan, sehingga segala hal
yang ada dalam kebudayaan akan tercermin dalam bahasa. Sebaliknya juga ada yang
mengatakan bahwa bahasa sangat mempengaruhi kebudayaan, dan cara berpikir
manusia atau masyarakat penuturnya.
Menurut
Koentjaraningrat (dalam Chaer, 2014:165) bahwa bahasa bagian dari kebudayaan.
Jadi, hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif,
di mana bahasa berada di bawah lingkup kebudayaan. Di samping itu, ada pendapat
lain yang menyatakan bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang
koordinatif, yakni hubungan yang sederajat.
Banyaknya
bahasa yang digunakan di Indonesia, terutama di kota-kota besar, ditambah
dengan mobilitas penduduk yang cukup tinggi, menyebabkan terjadinya kontak
bahasa dan budaya beserta dengan segala peristiwa kebahasaan seperti
bilingualisme, alih kode, campur kode, interverensi dan intergrasi. Maka kebanyakan
orang Indonesia pun menjadi masusia-manusia yang bilingual maupun multilingual.
Yang betul-betul monolingual tentunya juga masih ada, tetapi terbatas pada
mereka yang bertempat tinggal yang jauh dari pusat keramaian, terisolasi
atau belum tersentuh oleh masyarakat
luar. Begitu pun peristiwa alih kode, campur kode, interverensi, sudah lazim
terjadi dilakukan oleh para penutur bahasa Indonesia, sedangkan bentuk-bentuk
yang merupakan hasil integrasi pun banyak terdapat di dalam bahasa Indonesia
maupun di dalam bahasa daerah. Anehnya juga, di dalam masyarakat Indonesia ada
bentuk-bentuk seperti cross boy dan cross mama yang di dalam masyarakat Inggris
sendiri tidak dikenal. Juga bentuk halal bihalal yang di dalam masyarakat Arab
juga tidak ada.
Sejak
ditetapkannya undang-undang Dasar 45 sebagai bahasa resmi kenegaraaan,
pemakaian bahasa Indonesia semakin meluas boleh dikatakan sudah mencakup
seluruh wilayah republik Indonesia, meskipun, menurut sensus penduduk 1980,
yang dapat berbahasa Indonesia baru 61,4% dan sehari-hari berbahasa Indonesia
baru 12%. (Bandingkan yang berbahasa Jawa ada 40% dan berbahasa Sunda 15%).
Penggunaan bahasa Indonesia yang sangat meluas ini dan dilakukan oleh
orang-orang yang berlatar belakang bahasa ibu yang sangat berbeda-beda,
menjadikan bahasa Indonesia menjadi bervariasi dan beragam-ragam. Mengapa?
Karena bahasa Indonesia itu mempengaruhi bahasa daerah setempat. Akibatnya,
kita bisa mengatakan adanya bahasa Indonesia ragam Jawa Barat, yang sangat
kesunda-sundaan (lihat Widjajakusumah, 1980) ada bahasa Indonesia yang
kejawa-jawaan, adanya bahasa Indonesia yang kebatak-batakan, ada bahasa
Indonesia kebali-balian, dan sebagainya. Malah, kita juga bisa melihat bahasa
Indonesia seperti yang dituturkan kelompok etnis Cina dan Arab (lihat Hariyono
1990). Penggunaan bahasa Indonesia semakin hari semakin meluas, dan jumlah
penuturnya bertambah banyak. (Chaer, Abdul, 2014)
Ada
beberapa alasan yang dapat dikemukakan. Pertama, karena bahasa Indonesia
memiliki status sosial yang tinggi, yaitu sebagai bahasa nasional dan bahasa
resmi kenegaraan ini berarti dapat berbahasa Indonesia mempunyai rasa
kebanggaan tersendiri, yaitu kebanggaan nasional. Sumarsono (dalam Chaer,
2014:228) melaporkan, masyarakat tutur minoritas Melayu Loloan di Bali dapat
mempertahankan bahasa dari pengaruh bahasa Bali, tetapi tidak dapat
mempertahankan diri dari pengaruh penggunaan bahasa Indonesia. Ini terjadi
sebagai akibat bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa nasional dan bahasa negara
sedangkan bahasa Bali adalah bahasa daerah. Kedua, semakin banyak keluarga
terutama di kota-kota besar yang langsung menggunakan bahasa Indonesia sebagai
alat komunikasi dengan anak-anak mereka. Ini juga berarti semakin banyak
Indonesia yang berbahasa ibu atau berbahasa pertama bahasa Indonesia. Ketiga,
dapat berbahasa Indonesia mempunyai kesempatan sosial yang lebih bila
dibandingkan hanya dapat berbahasa daerah. Keempat, bahasa Indonesia sering
dijadikan alternatif pilihan untuk meghindar dari keharusan berundak usuk atau bersorsinggih
bila harus menggunakan bahasa daerah (Widjajakusumah, dalam Chaer, 2014:228).
Bahasa
daerah yang jumlah penuturnya relatif besar, wilayah pemakaiannya relatif luas,
dan didukung oleh adat istiadat dan budaya yang kuat (termasuk karya sastranya)
dapat dipastikan tidak akan ditinggalkan oleh para penuturnya, setidaknya dalam
jangka yang relatif lama. Tetapi bahasa daerah yang jumlah penuturnya relatif
sedikit dengan wilayah pemakaian yang relatif sempit, ada kemungkinan akan
ditinggalkan oleh penuturnya, dan beralih menggunakan bahasa Indonesia. Sebagai
bukti, kita lihat di daerah Minahasa dan Tondano di Sulawesi Utara.
Dalam
pendidikan formal di Indonesia, bahasa Indonesia mempunyai dua muka. Pertama,
sebagai bahasa pengantar di dalam pendidikan, dan kedua, sebagai mata pelajaran
yang harus dipelajari. Sebagai mata pelajaran, bahasa Indonesia termasuk mata
pelajaran penting, sama dengan pendidikan agama.
Sebagai
bahasa resmi kenegaraan, maka bahasa Indonesia harus digunakan dalam setiap
kegiatan yang bersifat resmi kenegaraan, termasuk sebagai bahasa pengantar dalam
bidang pendidikan. Mengenai bahasa pengantar dalam pendidikan ini, ada satu
kebijaksanaan yang membolehkan penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa
pengantar dari kelas satu sampai kelas tiga sekolah dasar dengan tujuan untuk
memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan mata pelajaran lain.
Sebagaimana
diketahui bahwa seluruh komponen masyarakat yang terlibat dalam proses
pendidikan, baik tenaga pengajar, peserta didik, penentu kebijakan, dan seluruh
unsur yang terlibat merupakan masyarakat yang berasal dari suku, daerah, dan
etnis yang berbeda. Perbedaan tersebut disatukan dengan penggunaan bahasa
Indonesia, sekiranya pembelajaran harus berlangsung menggunakan bahasa daerah
masing-masing individu yang terlibat dalam pembelajaran tersebut maka dapat
dibayangkan betapa sulitnya proses pembelajaran tersebut dilaksanakan.
Bahasa-bahasa
daerah yang ada
di Indonesia kebanyakan tidak merupakan satu kesatuan bahasa
yang utuh. Bahasa daerah itu biasanya mempunyai satu atau dua dialek bahkan
lebih. Lalu, satu dari beberapa dialek ada satu yang dianggap dialek standar
dan digunakan dalam acara resmi kedaerahan. (Chaer, Abdul, 2014)
Bahasa
Indonesia sudah siap pakai untuk menjadi bahasa pengantar. Bahasa Indonesia
sudah memiliki kosakata untuk pengertian-pengertian sekarang, dan sudah pula
digunakan oleh jutaan orang sebagai lingua franca di seluruh Nusantara. Karena
itu, sudah sepantasnya bahasa Indonesia yang dipilih menjadi bahasa pengantar,
dan bukan bahasa daerah atau melayu.
Multikulturalisme
adalah sebuah filosofi yang tafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki adanya
persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik
yang sama dalam kehidupan masyarakat. Secara etimologis multikulturalisme
terdiri atas kata multi yang berarti plural, kultural yang berarti kebudayaa,
dan isme yang berarti aliran atau kepercayaan. Jadi, multikulturalisme secara
sederhana adalah paham atau aliran
tentang budaya yang plural.
Dalam
Pembinaan masyarakat multikultural, bahasa Indonesia secara khusus berperan
sebagai pengantar dalam pendidikan. Sebagaimana diketahui bahwa seluruh
komponen masyarakat yang terlibat dalam proses pendidikan, baik tenaga
pengajar, peserta didik, penentu kebijakan, dan seluruh unsur yang terlibat
merupakan masyarakat yang berasal dari suku, daerah, dan etnis yang berbeda.
Oleh karena itu, pendidikan multikultural perlu diterapkan untuk meretas
kendala keragaman budaya dalam mewujudkan kebutuhan bersama, baik berskala
nasional maupun berskala lokal.
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A. Chaedar.1993.Pengantar
Sosiologi Bahasa.Bandung: Penerbit Angkasa.
Chaer, Abdul.2014.Sosiolinguistik
Perkenalan Awal.Jakarta: PT Rineka Cipta.
Purwo, Bambang Kaswanti.2000.Bangkit
Kebhinekaan Dunia Linguistik dan Pendidikan.Jakarta: Mega Media Abadi.
Suryana, Yaya.2015.Pendidikan
Multikultural Suatu Upaya Penguatan Jati Diri Bangsa.Bandung: Penerbit
Pustaka Setia Bandung.
Wahyuni, Imelda. (2015). PENDIDIKAN MULTIKULTURAL: UPAYA MEMAKNAI KERAGAMAN BAHASA DI
INDONESIA. Zawiyah Journal Pemikiran Islam, 91.
Tags:
Wawasan