Menjadi Apa Adanya, Bahagia menurut Versiku (Review Imperfect karya Meira Anastasia)


“Salah satu hal paling beracun di dunia ini adalah ketika mulut dan pikiran yang bersinergi dengan jejemari yang licik.” – Titik Literasi

Memangnya siapa sih yang enggak merasakan insecurity? Apalagi dimasa modern seperti sekarang yang notabene sangat setia dengan media sosial. Tiap menit kadang terasa aneh bila tidak berselancar diinternet, right?

Walaupun demikian, penggunaan internet apalagi medsos enggak baik bila digunakan terlalu sering dan berlama-lama. Meskipun banyak yang berdalih: “Dari medsos kita bisa memiliki banyak informasi!” Ya, saya pun setuju. Namun enggak tiap menit juga harus pegang gawai, apalagi hanya untuk melihat unggahan terbaru dari orang-orang. Nanti bukannya menjalin silaturahmi malah menambah dosa. *eh!

Btw, kira-kira dosa yang bagaimana? 

Sebagai manusia kita enggak tahu isi hati atau pikiran orang lain ‘kan? Bisa jadi, ada saja “kesalahpahaman” dalam bermedia sosial. Misalkan saja  menganggap salah satu dari teman kita sedang pamerlah, apalah. Namun kita ‘kan enggak mengerti niat sebenarnya mengapa salah satu teman tersebut melakukan hal itu? Bisa jadi, dia hanya ingin mengucapkan syukur kepada Tuhan dengan versi dia.

Namun dari deskripsi tersebut enggak sedikit yang malah mengkritik dengan tajam. Berkomentar diunggahannya, tanpa berpikir bila jari-jari tersebut akan melukai bahkan mempunyai dampak bagi diri sendiri terlebih orang yang dikritik. 

Kalau di medsos sih masih bisa dihapus, tapi bagaimana bila jejak digital tersebut malah menjadi bumerang dan abadi di hati teman yang sebenarnya enggak mempunyai maksud apa-apa? Antara ingin percaya atau enggak, tapi  itulah yang banyak terjadi dimasa kini. Right?

Sejujurnya saya enggak paham dengan warga +62 ini, kadang dibuat miris juga tertawa diwaktu yang bersamaan. Miris, sebab mempunyai beda persepsi yang membuat salah satu pihak “merasa” dirugikan. Tertawa, karena masih saja berkomentar enggak nyambung terhadap suatu unggahan tertentu. Misal si pengunggah membahas A, si komentator kritiknya E yang bisa menyenggol S,Q dan seterusnya. 

Hal yang menurut saya lebih memprihatinkan, ketika netizen mencoba menghakimi seorang figur yang menurut mereka “diharuskan” selalu tampil sempurna (menurut kacamata manusia). Rasanya enggak boleh ada celah sedikitpun, padahal figur pun sama seperti para netizen–mereka manusia.

Saya yakin, kemungkinan muncul sanggahan seperti ini. “Loh, dia ‘kan figur dan tugasnya dikonsumsi oleh umum. Kalau enggak mau dikritik jangan jadi figur dong!” tentu pernyataan itu enggak salah, hanya saja kalau memang si netizen itu enggak suka mengapa enggak diam saja? Duduk manis dan skip kalau memang “benci” dengan beberapa unggahannya. Beres toh? Enggak perlu ngegas apalagi mengucapkan ujaran kebencian dan melontarkan kalimat-kalimat yang bisa menjurus pada perundungan (bullying).

Tahu enggak sih, apa akibat dari perundungan (bullying) ini?  beberapa akibat dari kasus bullying yang dialami korbannya adalah dihantui rasa takut, tidak nyaman, kurang percaya diri, tidak bisa mempercayai orang lain, bahkan ada yang menyakiti diri sendiri serta lainnya. 

Dampaknya enggak main-main loh! Jadi tolonglah, adakalanya bagi kalian mungkin ucapan itu hanya candaan, tapi bagi mereka bukan sekadar itu. Mereka butuh waktu yang lama dan jangka panjang untuk pulih dan kembali sembuh dari berbagai ujaran dan tingkah kalian–wahai para netizen!

Anyway, ini juga pengingat untuk saya supaya tidak semena-mena. Sebab saya pun bukan orang baik. Saya hanya ingin berbagi persepsi mengenai kasus bullying dari media sosial. Sebab kisah dari salah satu istri figur Indonesia ini, saya menjadi belajar tentang penerimaan dan motivasi untuk lebih mencintai diri sendiri. 


Identitas buku

Judul : Imperfect

Pengarang : Meira Anastasia

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Cetakan : I, 2018

Tempat Terbit : Jakarta

Tebal : ±  172 hlm.


Meira Anastasia seorang istri dari komika Ernest Prakasa. Dia lahir di Pematang Siantar pada 1983. Meira yang kerap disapa Mamak ini merupakan ibu dari dua orang anak. Meira cukup aktif di media sosial @meiranastasia yang membagikan tutorial olahraga dan berbagi curhat. Selain menulis buku, dia juga kerap berkolaborasi dengan sang suami dalam beberapa projek seperti: Cek Toko Sebelah, Milly & Mamet dan Susah Sinyal.

Review Imperfect karya Meira Anastasia

Secara singkat Imperfect karya Meira Anastasia adalah kumpulan cerita suka duka Meira tentang kegelisahannya terhadap diri sendiri; yang tanpa sengaja terdekte oleh persepsi orang lain. Seperti halnya judul Imperfect–ungkapan enggak sempura itulah yang cukup membanjiri pikiran ibu dua orang anak tersebut. Sebab tanpa dipungkiri untuk jadi seorang istri public figure pun dapat sorotan dari berbagai pihak terutama para netizen yang budiman.

Dalam unggahannya di media sosial, Meira kerap mendapatkan perlakuan kurang mengenakkan. Dia mendapatkan perlakuan tersebut sebab enggak sesuai dengan ekspektasi netizen yang beranggapan seharusnya istri seorang public figure tampil sempurna. Bukan seperti Meira yang seperti saat itu, tampil apa adanya dengan rambut pendek, tubuh yang katanya enggak semampai, kulit lebih gelap dengan gaya berpakaian yang begitu-begitu saja dan lainnya. 

Jikalau mendapatkan komentar demikian, memangnya siapa sih yang mentalnya enggak down? Apalagi menurut saya hal tersebut sudah menjurus kepada salah satu bentuk perundungan.

Pada situasi demikian, Meira mencoba mengubah dirinya dengan beberapa cara yang awalnya tentu enggak mudah. Dari operasi hingga hal sederhana yakni melakukan olahraga. Siapa sih yang enggak mengerti olahraga?

Setelah berdrama-drama tentang operasi yang dialaminya, Meira memutuskan me time dengan berolahraga. Meskipun membutuhkan waktu yang enggak sebentar, olahraga mampu mengatasi beberapa bentuk kegelisahan Meira (entah saya baca dimana lupa sumbernya, tapi salah satu manfaat dari olahraga adalah mengatasi emosi dan membuat perasaan lebih bahagia. It’s true, saya mengalaminya. Jika sudah suntuk dan penat, biasanya saya gunakan untuk olahraga mekipun itu hanya di dalam rumah. Eh ingat, stay at home!)

Lantas, apakah pada kasus ini Meira mampu menghadapi berbagai komentar dari netizen seperti sebelumnya?

Tentu kini dia mampu mengatasinya meski enggak sepenuhnya. Sebab memulihkan luka dari perundungan itu enggak mudah. Namun yang terpenting, sang penulis ‘kan sudah tahu cara untuk menyenangkan diri sendiri. Menurut saya itu merupakan salah satu jalan keluar penulis dalam menemukan kebahagiaan versinya.

Akan tetapi dibalik semua itu, ada satu komponen pentingnya–niat, berubah untuk diri sendiri. Sebab karena keinginan sendiri tidak akan timbul keterpaksaan.

“Aku tidak pernah setuju dengan orang yang ingin berubah karena dan untuk orang lain, bukan benar-benar untuk dirinya sendiri” (Meira, 2018:29). Dengan begitu olahraga pun bisa dilakukan jangka panjang, tanpa adanya keluh kesah dan tetek bengeknya.

You know-lah sebuah proses itu enggak instan. Proses itu biasanya lambat, pelan, bertahap dan kadang-kadang mundur. Kemudian saat kita mencoba menerima sebuah kekurangan atau ketidaksempurnaan malah bisa membuat sumber kekuatan. Sebab kita pun berhak memilih bahagia yang seperti apa. Toh, manusia dianugerahi dua kacamata dari sudut positif ataupun negatif. Sekarang tinggal memilih, dari kacamata mana ingin melihat isi seluruh semesta.

  

Hikmatul Ika

Manusia yang menyukai dunia kepenulisan, baik sebagai blogger dan Pengarang.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form