Bila Manusia Mendengar



Kali ini udara berayun bersama dedaunan yang terpisah dari rantingnya. Bila manusia bisa mendengar, betapa tragisnya ia merelakan sang ranting untuk ditinggali tunas yang lain.

Bila pun manusia mendengar, mereka pastilah berkata “Itu wajar, sudah hukum alam!” setelah itu mereka tak lagi peduli.

Lantas apakah pertautan kita juga hal sewajarnya? Mengenai arah yang semakin bertolak dan jarak yang tak punya perasaan. Nyatanya begitu tega menggali dan mengubur kebersamaan. Hei kawan! Apakah itu yang disebut sebagai takdir?

Hah... jika pun manusia mendengar, aku tak yakin bila mereka semakin peduli. Bukankah sewajarnya jika mereka acuh diri?

Namun sore ini, telingaku berdesing. Inderaku meracau, kemudian menghirup pekat detik-detik masa itu. Dengan ringkih aku mengaku: aku yang kini lupa rasanya bercanda, hanya sekelebat mengingat engkau menyuguhkan secangkir tawa yang diseduh kala lalu. Ah! Dengan masygul aku masih menyambutmu dalam kenangan.


Lumajang, 1 Mei 2020

Hikmatul Ika

Manusia yang menyukai dunia kepenulisan, baik sebagai blogger dan Pengarang.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form