[Prosa]: Tentang Ayah (sudah diterbitkan dalam antalogi prosa Cinta dalam Diam)


Sembilan belas tahun yang lalu, aku datang dengan tangisan. Tentu saja aku belum mengerti, tapi selalu ingin tahu siapa yang selalu menemani di kala gelap datang. Ternyata bersama seseorang berhati lembut itu kau menjagaku, menenangkanku, juga memberiku kehangatan.

Dua tahun kemudian, aku mulai tahu bagaimana cara untuk memanggilmu. Sebagai gadis kecil, aku selalu ingin mendapatkan hal lebih yaitu dengan mengundang berbagai cara untuk menarik perhatianmu.

Saat di taman kanak-kanak, memang tak kuingat apa aku sangat dekat denganmu? Tetapi aku punya satu ingatan saat kita berlibur bersama. Waktu itu kau selalu membuat senyumku mengembang dan dari situlah aku tahu apa itu keceriaan.

Aku masih ingat di akhir aku duduk di bangku sekolah dasar, kau memiliki tanggung jawab lebih dari biasanya. Aku tidak mengerti bagaimana perasaanmu waktu itu. Beban yang harus kau tanggung untuk bisa menjadi ayah sekaligus ibu dalam keluarga. Namun seberapa sibuk pekerjaanmu di luar, kau tidak pernah mengurangi perhatian pada gadis kecilmu. Oleh sebab itu aku tidak ingin merepotkanmu, tapi malah jatuh sakit dan membuat beban pikiranmu bertambah. Kau relakan waktu istirahat untuk pulangpergi  mencari obat gadis kecilmu yang sedang demam di kamarnya. Padahal, waktu itu hari sudah gelap.

Begitu juga saat gadis itu masuk sekolah menengah pertama, kau masih setia memberikan perhatian. Setiap pagi kau menungguiku sampai benar-benar sarapan sebelum berangkat ke sekolah. Langsung menyuruhku makan, saat baru saja datang. Kemudian saat malam menjelang, kau tak lupa pula mengingatkan. Namun apa yang bisa kulakukan saat itu? Aku kembali jatuh sakit, karena mag-ku kambuh. Lagi-lagi yang kulakukan  hanya bisa merepotkanmu.

Hari kelulusan sudah diumumkan jauh-jauh hari dan aku sedang menyibukkan diri untuk melanjutkan sekolah. Aku memang punya keinginan untuk sekolah ke luar kota, tapi di sisi lain aku tidak ingin jauh darimu. Saat tes pertama gagal, sungguh aku kecewa pada diri, muak, malu, dan benci dengan keinginan itu. Akan tetapi dengan tenang kau membujukku, kau bilang cobalah lagi. Hingga akhirnya aku harus melepas genggaman tanganmu dan mengejar mimpi ke luar kota. Lagi-lagi aku membuatmu khawatir, karena meninggalkanmu juga jarang memberi kabar.

Hampir tiga tahun di kota orang, aku harus menyiapkan diri untuk mengikuti ujian nasional tingkat sekolah menengah atas. Dari awal semester genap, jadwal kegiatanku bertambah padat. Akibatnya, selama dua bulan tidak bisa pulang dan bertemu denganmu. Aku tahu kau tak semuda dulu, tapi kau datang jauh-jauh hanya untuk menjengukku.

Setelah lulus, aku begitu senang bisa masuk perguruan tinggi untuk melanjutkan pendidikan. Saat mendengar kabar itu, kau langsung menyiapkan berbagai persyaratan yang dibutuhkan. Kau rela mengantarku, bahkan siap mengantre panjang untuk mewujudkan keinginanku menjadi seorang mahasiswi. Meskipun kau tahu artinya, bahwa aku akan kembali menjelajahi kota orang dan meninggalkanmu.

Ayah, maafkan gadis kecilmu ini yang masih saja manja, merepotkan, dan selalu membuatmu khawatir. Maafkan, karena masih menyepelekan apa yang kau beri. Aku sungguh minta maaf ayah, sudah membuat hari-harimu sepi. Terima kasih, sudah membesarkanku. Terima kasih atas kasih sayang, perhatian yang tak kurang sedikit pun darimu. 

Ayah,  kau adalah orang tua terhebat yang  kumiliki.

Selamat Hari Ayah Nasional
Jember, 12 November 2016

Hikmatul Ika

Manusia yang menyukai dunia kepenulisan, baik sebagai blogger dan Pengarang.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form