SASTRA, PENGARANG DAN PEMBACA


PENGERTIAN SOSIOLOGI DAN SASTRA 

Werren dan Wellek (1994) mendefinisikan sastra sebagai karya imajinatif yang bermediakan bahasa dan mempunyai nilai estetika dominan. Kedua, disisi lainnya, definisi sastra juga banyak yang mengarah  pada pengertian sastra ditinjau secara etimologi, asal-muasal kata. 

Teeuw (1984: 22) mengatakan dalam bahasa Barat kata “sastra” itu sepengertian dengan kata literature (Inggris), literatur (Jerman), litterature (Prancis), yang semua berasal dari bahasa Latin litteratura. Kata litteratura sebetulnya diciptakan sebagai terjemahan  dari kata Yunani grammatika : litteratura dan grammatika, yang masing-masing berdasarkan kata littera dan gramma yang berarti “huruf”. Dengan demikian litterature dan seterusnya pada umumnya berarti, dalam bahasa Barat modern: “segala sesuatu yang tertulis” yaitu pemakaian bahasa dalam bentuk tertulis.

Sementara itu, kata “sastra” dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa sanksekerta : akar katanya adalah “sas-“ dalam kata kerja turunan yang berarti “mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, atau instruksi” Pada akhiran “tra-“ menunjukkan pada “alat untuk mengajar, buku pentunjuk, buku instruksi atau pengajaran” Awalan “su-“ dalam bahasa Sansekerta berarti “baik dan indah” sehingga susastra berarti “alat untuk mengajarkan yang indah. Menurut Teeuw, (1984: 24) hal utama dalam sastra adalah nilai dan keindahan. Aspek nilai inilah yang kemudian disebut makna, sastra selalu menyampaikan nilai atau makna kepada pembaca. Maka dari itu zaman dahulu banyak masyarakat yang menyukai sastra untuk menyampaikan nilai atau pesan moral kepada orang lain. Kenyataan bisa dilihat, misalnya pada zaman dahulu, bahkan sampai sekarang, contohnya anak masih suka mendengarkan cerita, baik baik pengantar tidur, pengantar pelajaran, dll.

Sedangkan dari aspek kulturalnya, sastra sebagai hasil cipta berupa “pikir” dan “rasa” dalam bentuk artefak tulisan, seperti menulis sastra berupa prosa maupun drama. Sastra menjadi disiplin objek kajian budaya karena sastra adalah sistem budaya yang mewakili pikiran manusia dalam kehidupan sosial masyarakat. Sastra pun hidup dan dihidupi oleh sistem masyarakat yang ada. Hal ini dapat digambarkan, jika yang menulis sastra, baik berupa prosa maupun drama adalah orang yang berbudaya Jawa, maka karya sastra ciptaannya pasti merepresentasikan sistem sosial dan budaya Jawa. Sastra memiliki hubungan yang khas dengan sistem sosial dan budaya sebagai basis kehidupan penulisnya, maka sastra selalu hidup dan dihidupi oleh masyarakat.

Pengertian sosiologi menurut Ishomuddin, 2002:10 (dalam Heru Kurniawan, 2011:4) adalah studi tentang masyarakat yang mengemukakan sifat atau kebiasaan manusia dalam kelompok dengan segala kegiatan dan kebiasaan serta  lembaga-lembaga yang penting sehingga masyarakat dapat berkembang terus dan berguna bagi kehidupan manusia, karena pengaturan yang mendasar tentang hubungan manusia secara timbal balik dan juga karena faktor-faktor yang melibatkannya serta dari interaksi sosial berikutnya. 

Dengan demikian, objek kajian dari sosiologi sastra adalah sastra itu sendiri, yang berupa karya sastra, sedangkan sosiologi berguna sebagai ilmu untukk memahami gejala sosial yang yang ada dalam sastra, baik penulis, fakta sastra, maupun pembaca.

PARADIGMA PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA

Menurut Wellek dan Warmen (1994) mengemukakan tiga paradigmatik pendekatan dalam sosiologi sastra. 

Pertama sosiologi pengarang. Pengarang dimaknai sebagai bagian dari masyarakat yang telah menciptakan karya sastra. Oleh karena itu, pemahaman terhadap pengarangnya menjadi kunci utama dalam memahami hubungan  sosial karya sastra dengan masyarakat, tempat pengarang bermasyarakat. Dalam penciptaan karya sastra, campur tangan penulis sangat menentukan. Realitas yang digambarkan dalam karya sastra ditentukan oleh pikiran penulisnya.

Kedua, sosiologi karya sastra, menganalisis terhadap aspek sosial dalam karya sastra dilakukan dalam rangka untuk memahami dan memaknai hubungannya dengan keadaan sosial masyarakat di luarnya. Fokus perhatian sosiologi karya sastra adalah pada isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial. Kajian sosiologi karya sastra memiliki kecenderungan untuk tidak melihat karya sastra sebagai suatu keseluruhan, tetapi hanya tertarik kepada unsur-unsur sosiobudaya yang ada di dalam karya sastra. Kajian hanya mendasarkan pada isi cerita, tanpa mempersoalkan struktur karya sastra.

Yang ketiga, sosiologi pembaca, kajian pada sosiologi ini mengarah pada dua hal, yaitu kajian pada sosiologi terhadap pembaca yang memaknai karya sastra dan kajian pada pengaruh sosial karya sastra. Pembaca merupakan audiens yang dituju oleh pengarang dalam menciptakan karya sastranya. Kajian terhadap sosiologi pembaca berarti mengkaji aspek nilai sosial yang mendasari pembaca dalam memaknai karya sastra.

Sementara itu, menurut Lan Watt 1964 (dalam Heru Kurniawan 2011:11) mengemukakan tiga klarifikasi (paradigma)  dalam sosiologi sastra. 

Pertama, konteks sosiol pengarang, berhubungan dengan analisis posisi pengarang dalam suatu masyarakat dan kaitannya dengan pembaca. Analisisnya : a) bagaimana pengarang mendapatkan mata pencahariannya, b) profesionalisme dalam kepengarangan yang mencakup sejauh mana pengarangan itu mengangggap pekerjaannya itu sebagai profesi, dan c) masyarakat apa yang yang dituju oleh pengarang, ini berhubungan antara pengarang dan masyarakat yang dituju pengarang ini menentukan bentuk dan isi karya sastra.

Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat, berkaitan sejauh mana sastra dapat mencerminkan keadaan masyarakat. Cermin disini bukan berarti kenyataan dalam karya sastra sama dengan kenyataan  dalam masyarakat.  Dengan demikian sastra sebagai cermin sebagai cermin masyarakat berarti sastra yang memakali semangat zamannya.

Ketiga, fungsi sosial sastra berkaitan dengan sampai sejauh mana nilai sastra dengan nilai sosial dan sampai sejauh mana nilai sastra dipengaruhi oleh nilai sosial. Sastra di sisi lain dipengaruhi oleh nilai sosial, sastra juga mampu mengajarkan nilai sosial yang baru pada masyarakat, sehingga sastra memiliki fungsi sosial, yaitu berperan serta dalam proses terjadinya perubahan sosial. 

Dua paradigma di atas, yang dikemukan Wallek dan Warren (1994) dan Ian Watt (1964) menunjukkan kesamaan, yaitu paradigma sosiologi meliputi pendekatan terhadap pengarang, karya sastra, dan pembaca.

Daftar Pustaka:

Kurniawan, Heru. 2012. Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiolagi Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu cetakan pertama.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Wellek, Rene and Austin Warren. 1994. Teori Kesusastraan. Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.


Hikmatul Ika

Manusia yang menyukai dunia kepenulisan, baik sebagai blogger dan Pengarang.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form