Ngomongin masalah pendidikan seperti enggak ada habisnya ya? Ada saja yang dapat dibahas seperti kenapa sih kurikulum selalu berubah-ubah, sampai kapan guru berkutat dengan tugas administrasinya dan apakah hidup guru honorer sudah sejarahtera? Upss!
Bukannya apa-apa, hanya miris
saja melihat kondisi di negeri ini, apalagi freshgraduate pendidikan yang sedang luntang-lantung.
Kendati mereka telah mendapat pekerjaan yang sesuai dengan jurusannya pun, belum
tentu mendapatkan hak yang sebanding saat memperjuangkan gelarnya sebagai guru
tersebut.
Saya jadi ingat ungkapan salah
seorang teman, “Kalau jadi guru honorer
jangan berharap banyak, anggap saja sedang menebar pahala.” Heeem, sebegitu
kerasnya ‘kah perjuangan para guru muda di luar sana? Semoga niat dan
perjuangan Teteman diganti dengan rizeki yang lebih barakah ya?
Sebab menjadi guru itu enggak
mudah loh! Benar enggak?
Pengalaman saja sih, kendati
hanya sedang praktik dalam beberapa bulan rasanya sungguh nano-nano. Menjadi
seorang guru sama halnya perlu menguasai berbagai macam hal, enggak hanya
tentang kognitif saja.
Salah satu gambarannya dalam hal
ini yakni perlu menguasai seni dalam mengenal karakter peserta didik, seni
mengajar, seni mengelola emosi dan sebagainya. Jadi, menjadi guru enggak
sesederhana itu.
Dengan berbagai perjuangan yang
enggak ringan tersebut, kadang saya menjadi prihatin ketika membaca ataupun
menonton sebuah berita yang menyiarkan tentang seorang guru dilaporkan ke pihak
berwajib karena menghukum siswa dll.
Jadi geleng-geleng kepala dan em*si
saya tuh! Tidak tahu kah, bila setiap tempat (baik sekolah dll) mempunyai
kebijakan dan aturan yang berbeda?
Ngomong-ngomong, kalau membahas
hal tersebut di atas rasa-rasanya enggak akan cukup dalam sekali duduk. Oleh
karenanya, mari kita cermati sisi lain dari pendidikan terutama mengenai peran
seorang guru melalui tiga karya sastra berikut ini.
Fyi... saya tahu, diluar sana banyak sekali literatur tema
pendidikan yang bagus. Namun tiga karya berikut begitu berkesan dan inspiratif
bagi saya pribadi. Semoga dapat menjadi salah satu rekomendasi bacaan untuk
Teteman pula ya?
Nah, apa sajakah 3 novel tema
pendidikan paling inspiratif tersebut?
3. Novel Guru Aini karya Andrea Hirata
Diurutan ketiga ada karyanya Pak
Cik berjudul Guru Aini. Novel ini merupakan presekuel dari Novel Orang-Orang
Biasa. Novel Guru Aini diterbitkan
oleh Penerbit Bentang dengan tebal xii ± 336 halaman, pada Februari 2020.
Novel Guru Aini bukan bercerita tentang guru
bernama Aini ya, melainkan menceritakan gurunya dari seorang siswi bernama
Aini. Nah, gurunya Aini ini bernama Bu Desi.
Pada awalnya saat membaca judulnya saya cukup
bingung, apakah Aini memutuskan menjadi guru dan mengubur mimpinya untuk
menjadi dokter? Namun ternyata saya hanya terkecoh. Walaupun judulnya cukup
ambigu, tapi setelah membaca novelnya saya jadi paham, hahaha.
Fyi, kilas balik
dalam Novel Orang-Orang Biasa Aini diterima Fakultas Kedokteran dan merasa
patah arang karena ekonomi. Sembari mengingat-ingat, Teteman dapat membaca
kembali review Novel
Orang-Orang Biasa karya Andrea Hirata.
Seperti yang sebelumnya saya ungkapkan, Novel
Guru Aini merupakan cerita perjuangan gurunya Aini yang bernama Bu Desi. Beliau
seorang guru Matematika yang dikenal sebagai orang yang idealis.
Sebab untuk menjadi seorang guru saja, beliau
telah melalui berbagai lika-liku. Salah satu contohnya, dia ingin mengubah
persepsi siswa terhadap Matematika. Namun situasi dan kondisi saat itu tidak
memungkinkan beliau untuk mewujudkan hal tersebut. You know-lah, bagaimana rumitnya angka dan rumus dalam Matematika
dilingkup lingkungan dengan akses terbatas?
Bu Desi untuk menjaga prinsipnya tersebut,
dia bertekad untuk selalu memakai sepatu pemberian sang ayah. Dia hanya akan
berganti sepatu bila telah menemukan anak yang sesuai dengan keidealisannya
tersebut. Bahkan, Bu Desi tidak mengindahkan bagaimana rupa dan bentuk sepatu
yang dipakainya selama ini. Saya kira lebih dari kumal.
Hingga sampai akhirnya, berbahagialah Bu Desi
dengan sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Bu Desi sempat menemukan
seorang anak yang cukup mahir dalam bidang tersebut dan akhirnya mengganti
sepatu dengan yang baru, haha. Yaa.. kendati kegembiraan tersebut tak bertahan
lama. Sebab sang siswa memutuskan berhenti sekolah.
Hingga suatu hari, muncul seorang yang begitu
unik, dia bernama Aini. Seseorang yang cukup mirip dengan karakter Bu Desi. Dia
begitu ambisius jika telah menginginkan sesuatu, meskipun sering dianggap akan
mustahil terwujud.
Namun siapa yang berani menghalangi mimpi
seseorang?
Dengan berprinsip pada dedikasinya, Bu Desi
membantu Aini Matematika dari nol dan berulang-ulang. Entah berapa juta sabar
dan ketelatenan Bu Desi mengajari Aini tersebut sampai akhirnya Aini berhasil
menjadi siswa yang berprestasi dan mewujudkan mimpinya untuk masuk Fakultas
Kedokteran.
Novel Guru Aini karya Andrea Hirata
2. Dua Belas Pasang Mata karya Sakae Tsuboi
Diurutan kedua ada sebuah novel terjemahan
dari Jepang karya Sakae Tsuboi berjudul Dua
Belas Pasang Mata. Novel ini cetakan kedua dan diterbitkan oleh Penerbit
Gramedia Pustaka Utama pada September 2016 dengan tebal ± 248 hlm.
Novel ini bercerita tentang seorang guru
bernama Bu Oishi dan kedua belas siswanya yang cukup unik dan mengharukan.
Sebab tidak mudah sebagai freshgraduate,
kemudian ditugaskan mengajar di sebuah desa nelayan yang miskin. Beliau yang
masih minim pengalaman tersebut, sempat terlibat pro dan kotra dengan warga di
sana.
Hal tersebut tak lain karena Bu Oishi
terkesan terlalu modern dan menyalahi budaya. Fyi, novel ini berlatar tahun 1950-an, masih dizaman perang. Kala
itu, Bu Oishi yang berpakaian toksedo dan berkendara sepeda dianggap
menyebarkan budaya barat. Sebab, pada zaman itu hanya orang tertentu saja yang
mempunyai sepeda. Padahal ‘kan, Bu Oishi memang dari keluarga yang mampu dan
rumahnya jauh. Jadi, menurut saya wajar saja naik sepeda.
Akan tetapi, warga yang masih belum menerima
pandangan tersebut malah dengan terang-terangan memusuhi beliau. Bahkan, ada
anak yang tidak diperbolehkan sekolah dan memperlakukan Bu Oishi dengan kurang
baik.
Namun Bu Oishi yakin, lambat laun warga dapat
menerimanya. Berkaitan dengan hal itu, Bu Oshi mencoba memberikan pendekatan
pada warga dan siswa-siswanya. Walaupun tidak mudah, tapi keberadaan Bu Oishi berhasil
membuka hati warga dan selalu ditunggu para siswa.
Dalam hal ini, ketelatenan Bu Oishi dan
keteguhan hatinya begitu membuat saya tergugah. Dedikasi beliau untuk
menyelaraskan sudut pandang agar tetap mengajar di desa nelayan berhasil
membuat mata berkaca-kaca.
Bila saja waktu itu, Bu Oishi memutuskan untuk
berhenti bagaimana kira-kira ya nasib dari kedua belas pasang mata tersebut?
Baca selengkapnya Review Novel Dua Belas Pasang Mata karya Sakae Tsuboi
1. Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela karya Tetsuko Kuronayagi
Novel tema pendidikan paling
berkesan dan inspiratif diurutan pertama ada karya Tetsuko Kuronayagi berjudul Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela.
Novel ini telah dicetak dua puluh empat kali pada Agustus 2017 dan diterbitkan
oleh Gramedia Pustaka Utama dengan tebal 272 halaman.
Novel Totto-chan: Gadis Cilik di
Jendela secara garis besar bercerita tentang seorang anak perempuan yang
mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi. You know-lah, anak yang memilki karakter
demikian biasanya enggak akan bisa diam? Begitu pula dengan Totto-chan yang
dianggap kurang bisa memperhatikan gurunya.
Hingga suatu hari, sang guru yang
sudah tidak tahan dengan Totto-chan dan memintanya untuk pindah sekolah. Beruntung,
ibunya menemukan Sekolah Tomoe. Sekolah unik yang berhasil menarik perhatian
gadis perempuannya. Ajaibnya, Sekolah Tomoe menyambut Totto-chan dengan hangat,
apalagi sang kepala sekolah yakni Mr. Kobayashi.
Sekolah Tomoe unik karena dibagun
dari gerbong kereta dan mempunyai sistem dan kurikulum pendidikan sendiri. Hal tersebut
dicanangkan oleh sang kepala sekolah yang begitu menyukai anak-anak. Seperti halnya,
tidak ada jadwal tetap untuk mata pelajaran di hari tersebut, begitu pun dengan
denah tempat duduk siswa.
Sekolah Tomoe memfasilitasi siswa
untuk bereksplor sesuai dengan minat pun kesukaan. Sehingga anak-anak tidak
merasa tertekan dan terpaksa. Mereka seperti tidak sedang belajar, malah
seperti sedang bermain dan bersenang-senang.
Perlakuan tersebut dan ide dari
Mr. Kobayashi berhasil memberikan kesan yang begitu mendalam, baik kepada
Totto-chan dan siswa lainnya. Bahkan, Totto-chan mengaku beruntung telah
bertemu dengan Mr. Kobayashi di masa kecilnya. Sehingga dia tidak lagi dicap
sebagai anak yang nakal dll.
Tidak hanya itu, di masa dewasa
Totto-chan dia berupaya mengabdikan dirinya untuk kepentingan anak-anak. Hal tersebut
tentu tak jauh dari peran dan dedikasi Mr. Kobayashi yang berhasil menyentuh
hati siswa-siswanya.
Fyi, kisah dari cerita ini
merupakan kisah nyata dari seorang Tetsuko Kuronayagi. Kisah nyata dari seorang
penulisnya tentang masa kecil dan pertemuannya dengan seseorang yang luar biasa
bernama Mr. Kobayashi.
Baca selengkapnya Review Novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela karya Tetsuko Kuronayagi
Well... itulah tiga novel tema
pendidikan paling inspiratif versi saya. Bagaimana dengan Teteman?
1 Comments
Semngatt trs kk🔥
ReplyDelete