Mrs. Oishi (Review Novel Dua Belas Pasang Mata Nijushi no Hitomi) karya Sakae Tsuboi)

“Ibu guru, datanglah lagi!”

“Datanglah lagi kalau kaki ibu guru sudah sembuh.”

“Janji ya.”

 

Dua Belas Pasang Mata (2016:211)

 

 

Identitas buku

Judul Novel                 : Dua Belas Pasang Mata (Nijushi no Hitomi)

Pengarang                   : Sakae Tsuboi

Penerbit                      : Gramedia Pustaka Utama

Cetakan                       : II, September 2016

Tempat Terbit             : Jakarta

Tebal                           : ± 248 hlm.

 

Review Novel Dua Belas Pasang Mata Nijushi no Hitomi karya Sakae Tsuboi

Kepengarangan

Sakae Tsuboi lahir di Pulau Shodo pada tahun 1900. Dia dikenal sebagai seseorang yang piawai dalam menulis kisah tentang anak-anak. Sejak masa perang, Sakae telah menghasilkan banyak novel dan dia termasuk penulis yang telah mendapatkan berbagai penghargaan sastra.

 

Sinopsis

Nijushi no Hitomi atau Dua Belas Pasang Mata menceritakan kisah seorang guru baru perempuan yang mengabdikan diri di sebuah desa nelayan yang miskin. Setiap hari dia menempuh perjalanan yang cukup jauh sekitar 16 kilometer.

Di hari pertama kedatangan guru tersebut cukup menggegerkan masyarakat. Pasalnya, ibu guru itu memakai pakaian barat dan mengendarai sepeda. harap makluk, tema cerita  diangkat tahun 1952, sepeda saat itu merupakan kendaraan yang langka yang hanya bisa dimiliki oleh orang-orang berada dan mengenai pakaian barat yang dimaksud yakni toksedo, yaa kalian tahulah yaaa pakaian orang Jepang itu Kinomo melihat pemandangan yang berbeda ditempat terpencil Teteman bisa membayangkan sendiri suasana keterkejutan masyarakatnya seperti apa?

Siapakah guru baru tersebut?

Guru baru itu bernama Guru Oishi; freshgraduate yang cukup pintar. Namun karena dia dianggap modern akhirnya menjadi bahan perbincangan masyarakat. Bahkan tak serta merta mereka tidak menyukai apapun yang dilakukan Guru Oishi. Akan tetapi perlakuan masyarakat tidak membuat Guru Oishi menyerah. Meski mendapatkan perlakuan yang kurang mengenakkan itu, Guru Oishi selalu mengganggap perlu beradaptasi.

Disuatu hari Guru Oishi mengalami kecelakaan yang membuat kakinya patah. Kejadian itu menimbulkan simpati masyarakat yang awalnya cuek bebek kepadanya. Namun sisi buruk dari peristiwa itu Guru Oishi tidak bisa lagi kembali ke desa nelayan.

Namun beberapa siswa yang sudah rindu dengan Guru Oishi berinisiatif mengunjungi meski berjarak tempuh cukup jauh. Tentu saja perlakuan dari siswanya itu membuat Guru Oishi tersentuh. Mereka meminta Guru Oishi untuk kembali dan beliau juga menyetujuinya.

Sementara itu perang mulai berkecamuk hingga beberapa tahun kemudian. Perang menyisakan duka banyak orang. Seperti halnya Guru Oishi kehilangan suami yang kala itu ikut berperang dan tentu perubahan yang tidak bisa digambarkan mengenai situasi yang terjadi.

Meredanya perang pun membuat Guru Oishi tidak bisa kembali ke desa nelayan. Sepeda menjadi salah satu kendaraan yang sulit dicari. Walaupun begitu tidak menyurutkan niat Guru Oishi untuk menepati janji dan kembali ke desa nelayan. Kini setelah delapan belas tahun, akhirnya Guru Oishi kembali mengajar.

“Memangnya apa yang membuat novel ini jadi rekomendasi? Toh, yang namanya kisah tentang guru mungkin ya begitu-begitu saja?”

Saya pikir enggak akan ada cerita yang ditulis, tanpa ada sisi menariknya. Sebab bisa menarik bukan soal cerita, bisa saja teknik atau cara penyampaian pengarang yang unik. You know-lah, karya itu salah satu bentuk alat yang digunakan pengarang untuk menyampaikan pesan tersirat maupun tersurat.

Sehingga setidaknya di dalam salah satu karya menyelipkan nilai; amanat yang disampaikan pengarang kepada  pembacanya. Kalau misalnya teteman belum ‘ngeh’ setelah membaca salah satu karya mungkin hal positif lainnya mengajarkan Teteman untuk lebih peka terhadap sekitar? Siapa tahu kan?

Seperti halnya dalam novel ini, poin penting yang cukup unik saya temukan di bagian awal cerita, yakni tanpa sengaja Guru Oishi mengajak siswa-siswanya untuk rajin dan tidak terlambat ke sekolah. Kok bisa?

Jadi begini, sudah dijelaskan di awal bila tiap harinya Guru Oishi menempuh jarak enam belas kilometer agar tidak terlambat, dengan begitu tentunya Guru Oishi berangkat lebih awal.

Di sisi lain, para siswa itu senang bila berpapasan dengan Guru Oishi, jadi kedatangan Guru Oishi membuat beberapa siswa terpacu hanya untuk memutuskan siapa yang lebih awal datang antara sepeda dengan sapaan hangat Guru Oishi atau mereka yang siap menjaili Guru Oishi.

Poin selanjutnya, tanpa sadar mengajarkan untuk menepati janji. Selain kondisi kaki yang sakit, perang juga membuat Guru Oishi tidak bisa datang ke desa nelayan. Akan tetapi karena dia mempunyai janji untuk kembali, Guru Oishi tetap kembali walau perlu menunggu delapan belas tahun kemudian. Dia tetap menepati janji yang  telah dibuat bersama siswa pertamanya tersebut.

Well... begitulah sekiranya kisah dari Dua Belas Pasang Mata! Sebenarnya banyak sekali yang perlu dibahas tapi kali ini saya hanya membahas beberapa saja.

Novel ini kalau dipikir-pikir sepintas, cukup mirip dengan Laskar pelangi karya Pak Cik (Andrea Hirata) dari banyaknya tokoh, jumlah guru: seorang guru laki-laki dan seorang guru perempuan, juga beberapa hal lainnya. Akan tetapi, Dua Belas Pasang Mata dan Laskar pelangi juga sama-sama bagus kok!

Jadi, buat Teteman yang ingin menambah koleksi buku tentang pendidikan, Novel Dua Belas Pasang Mata karya Sakae Tsuboi ini jangan sampai tertinggal ya? Hihihi.


Hikmatul Ika

Manusia yang menyukai dunia kepenulisan, baik sebagai blogger dan Pengarang.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form