Skip to main content

Posts

Showing posts with the label Mahakarya

Bising Rindu

Ada rindu ditengah derasnya hujan sore ini. Rindu suara ketukan keyboard yang selalu menemani dikala menyulam bait-bait kata. Rindu coretan demi coretan tinta yang terlukis dalam kertas lusuh. Rindu wanginya aroma secangkir kopi yang memelukku hangat. Rindu ketika pikiranku menggelora, memburu dan menerkam jutaan gagasan semesta. Rindu, begitu rindunya. Sampai-sampai, dimalam ini aku masih terjaga. Indra penglihat serasa terbius hingga dia lupa cara untuk menutup mata. Jemari serasa gatal untuk menari dan meninggalkan jejaknya. Begitupun pikiran yang memaksa keluar untuk memangsa kata-kata karunia-Nya.  Malamku menjadi terlalu bising. Sampai-sampai, suara jangkrik yang bersahutan pun tak lagi terdengar. Lalu lalang kendaraan bukan lagi pengusik. Pun malamku terlalu hening untuk berdiam diri dan terlelap dimimpi yang tenang. Sebab aku ingin berkelana untuk menuntaskan rindu yang tertunda. Padamu, pada bait-bait syair  yang syahdu. WYL: 241224 Pada petang dan rindu

Melangkah di Juli yang Deras

Bulan Juli dan kisahnya–adalah cerita paling komplit yang pernah kuingat dalam hidup. Bukan karena sudah berlalu, tapi ada berbagai hal yang berhasil membawa diri ini melangkah menjadi manusia yang ‘cukup’ berarti.  Kupikir, sudah waktunya untuk menghela napas. Setidaknya sekali untuk mengucapkan syukur yang tiada terkira. Meskipun belum sepenuhnya pulih, aku menemukan satu titik terang yang paling berkilauan. Bahwa Tuhan itu nyata dan ada. Bukan, bukannya aku bermaksud tidak menyakini-Nya. Hanya saja, adakalanya aku mempertanyakan keberadaan Tuhan. Adakalanya bergelut dan menyusuri untuk meyakinkan diri yang masih plin-plan. Sebab sebagai manusia; masih saja merasa congkak terhadap Tuhan, padahal apalah dayaku tanpa-Nya?  Bulan Juli dan kisahnya yang terbungkus rapi walau rumit ini, aku belajar dan bercermin darinya. Dari beberapa waktu yang terlewati, aku baru menyadari banyak hal yang mesti disyukuri. Seperti cuplikan tawa, rentetan sakit, helaan lelah dan dekapan takut. Na...

Jejak Setapak: Tamu Semesta

  Untukmu, kausa rasa Tamu Semesta. Sebuah catatan ini kutulis untuk mengabadikan bagaimana hebatnya dirimu. Sebab bisa jadi, keberadaanmu hingga kini merupakan salah satu alasan mengapa lingkungan terasa ASRI. Meski pengaruhnya belum terasa, tapi percayalah ada aku di sini yang akan tetap menemani. Sekaligus sebagai saksi bisunya. Kau menyadarinya ‘kan, ritual pagimu saat membuka jendela? Kau selalu disambut oksigen yang begitu sejuk, diiringi senandung burung-burung di angkasa atau sebatas memandang dedauan dan reranting basah yang ditinggalkan embun tadi malam. Kau menyadarinya ‘kan, bila saat itu senyummu begitu hangat dan mengembang? Apalagi ketika kau menatap berbagai pohon yang lengkap dengan hiasan buahnya. Bukan hanya senyum dan tetes peluh, tapi waktu yang kau sisihkan untuk merawat mereka merupakan bahagia yang maha dahsyat. Walaupun sebatas mengamati bulir-bulir yang kemudian tumbuh berkecambah hingga muncul satu dua helai daun, dan kini menjadi pohon yang meregenerasi....

Ekspresi Kalbu

Pikiranku kian suntuk; sedang genting untuk memosisikan satu eksemplar benda ukuran A5 yang kubawa dari kamar. Bahkan Sudah kuhitung tiga kali mondar-mandir mengintip meja kerja ayah. Bodohnya meski tahu ayah tidak ada di sana, masih saja takut tertangkap basah. Aku bahkan tidak sedang melakukan kesalahan, apalagi menyulut emosi ayah, tapi mengapa irama jantungku begitu cepat? Seolah-olah bisa meledak kapan saja. “Bagaimana jika ayah menolak?” batinku mulai menggerutu. “Sudahlah letakkan saja di sini, lalu kembali ke kamar. Beres” ungkap pikiran. “Lebih baik menunggu ayah, Bil” “Ayah sibuk, emangnya kamu mau nunggu berjam-jam sambil mondar-mandir di sini?” sergah pikiran. Lagi-lagi pikiran dan hati saling menyerang. Apa mereka tak kasihan menjadikan ragaku sebagai tempat pelampiasan jiwa mereka? Bila tenang-tenang saja sih enggak masalah. Namun jika mulai adu argumen seperti sekarang, aku sebagai cangkang harus bagaimana? Jika dipikir-pikir pendapat pikiran bagus juga. Apa yang akan ku...

Arti Sebuah Pertemuan

"Ada satu bahagia yang tidak bisa dijelaskan oleh indra manusia,"  "Selamat ya Nia..." mengulurkan tangan sembari tersenyum. Aku sedikit mematung, batin mulai menggerutu; terharu.  Eh, Sensei tahu namaku? Ah! Maklum saja, di sekolah aku bukanlah siswa populer yang bisa dikenal para guru. Aku berpendapat demikian, sebab selama tiga tahun belajar di sini belum sekali pun dipanggil dengan nama yang benar selain kata "mbak". Oh, ada sih Guru Bahasa Indonesia yang entah mengapa hobi sekali menyebut namaku ditiap pembelajarannya.  "Frasa dari kalimat itu apa Nia?" ; "Nia, berapa klausa pada contoh nomor sekian?"; "Tolong dicatat ya Nia, judul tugas paragraf teman-temanmu. Kalau ada yang sama suruh ganti." Tiap pembelajaran Bahasa Indonesia ada saja yang ditanyakan.  Satu lagi, Guru Sastra Indonesia yang kalau enggak sengaja papasan selalu menyelipkan pertanyaan, "Nia, mana karyamu?" atau "Nia, bagaimana tadi ujian Sas...

Berbalik

Rintik hujan tak lagi membasahi tanah Tak serupa pekan lalu Namun ia tetap saja menggoda;  membaui ketenangan  Tatkala malam pun membeku Tak ada lagi asap berlenggak-lenggok di cangkir kopi Terutama sentuhan hangat sang jari-jari kokohnya  Dia membisu; sudah terlalu lama Kini aku menyadari  Rasanya tak lagi pekat Serupa detik-detik lalu Seusai indra merajai waktu  Lantas aku kembali Tak lagi melarikan diri LMJ, Maret 2021