Eh, sudah berapa bulan blog ini tidak mengulas buku? Aduh, saya kira terakhir membahas novelnya Bang Tere yang Bedebah di Ujung Tanduk. Wah, berarti sudah cukup lama dong hehe.
Apakah blog ini sudah tidak akan membahas tentang buku
lagi?
Oh, tentu saja tidak. Buku masih menjadi bagian dalam
hidup saya. Jadi, tidak perlu khawatir kendati tidak membahas sesering
sebelumnya. You know-lah, panggilan
dari dunia nyata sangat memekakkan telinga. Emm, ada saja alasan untuk tidak
menulis. Dasar saya! Hahaha.
Ngomong-ngomong memang sudah lama saya ingin membaca buku
Goodbye Things karya Fumio Sasaki ini. Pada saat itu saya
menonton ulasannya disalah satu jejaring sosial yang langsung dibuat tertarik,
apalagi topiknya tentang hidup minimalis.
Harap maklumlah, saya salah seorang yang sukar sekali
membuang barang kenangan pun sebagainya. Lantas bagaimana bisa minimalis, coba?
Oleh sebab itu, kiranya buku ini akan mengubah dan menambah
perspektif saya tentang hal tersebut.
Identitas Buku
Judul Buku : Goodbye, Things
Pengarang : Fumio Sasaki
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Pertama, 2018
Tebal : ± 242 hlm.
Ngomongin masalah minimalis, buku Goodbye Things menjadi
buku minimalis kedua yang telah saya baca. Buku pertama yakni Seni Hidup Minimalis karya Francine Jay yang ternyata juga
diterbitkan pada tahun yang sama.
Sama halnya buku Seni Hidup Minimalis, buku Goodbye Things
merupakan kisah pengalaman penulisnya yang menjalani hidup sederhana atau
minimalis. Akan tetapi, saya kira Buku Goodbye Things isinya lebih kompleks
karena juga melampirkan kisah para minimalis yang dapat dijadikan referensi.
Ngomong-ngomong, Buku Goodbye Things ini berisi lima bab.
Pada bab pertama membahas mengenai definisi minimalisme sebagai mana topik bahasan.
Bab kedua mengenai alasan manusia suka menyimpan barang, bab ketiga membahas
tentang teknik dasar ataupun cara menyingkirkan barang.
Pada bab keempat membahas pengalaman dan perubahan
penulis setelah menjadi seorang minimalis. Kemudian pada bab kelima berisi
perasaan penulis saat menjadi lebih bahagia setelah menjalani hidup minimalis.
Fyi, pada dasarnya keseluruhan isinya cukup
menarik. Hanya saja, saya menjadi gagal fokus ketika dihadapkan dengan subtopik
dengan judul “Merasa Bahagia” Alih-alih “Menjadi Bahagia” yang terdapat pada
bab kelima.
Memangnya, hubungan minimalis dengan bahagia apa coba?
Pada dasarnya hidup minimalis bisa meminimalisasikan waktu
dalam membereskan atau membersihkan barang-barang yang dimiliki. Sehingga menjadi
seorang milimalis, dapat mempunyai waktu luang “lebih” dan tidak berpaku untuk
beres-beres saja.
You know-ah, membereskan rumah bahkan sekadar kamar
tidur atau tempat belajar itu enggak cukup satu jam, apalagi bila dikelilingi
dengan banyak barang.
Pengalaman saya, membersihkan rak buku membutuhkan satu
jam lebih. Bisa dibayangkan bila membereskan seisi rumah butuh waktu berapa
jam?
Sebagai manusia, saya yakin bila waktu adalah emas. Sebab
pikiran manusia itu sangat kompleks dan ingin melakukan banyak hal right? baik menyoal hobi dan lain-lain. Apalagi
untuk IRT, waktu luang bukan lagi emas, tapi surga hahaha. Jadi enggak mungkin
kan, bila waktu luang yang berharga itu hanya sebatas untuk beberes saja,
lantas kapan me time-nya coba?
Dalam bukunya Sasaki menjelaskan sebuah penelitian
tentang bahagia. Menurut psikolog Sonja Lyubomirsky, 50% rasa bahagia
ditentukan oleh genetis, 10% oleh keadaan atau situasi hidup, 40% ditentukan
oleh pilihan dan tindakan individu sendiri (meliputi) pernikahan, pekerjaan
dll.
Coba amati lagi Teteman, 40% rasa bahagia ditentukan oleh
pilihan individu. Jika misalkan individu memilih untuk menjadi seorang
mimimalis, ada kemungkinan akan mendapatkan tambahan waktu “luang” yang bisa
dimanfaatkan untuk menunjang me time individu
tersebut. Toh, dia enggak perlu dipusingkan dengan beberes yang memerlukan
waktu berjam-jam tersebut, right?
Dengan begitu dapat dikatakan memilih menjadi minimalis
dapat menambah rasa bahagia seseorang dalam kehidupan kesehariannya.
Jadi bagaimana Teteman, tertarik menjadi seorang
minimalis selanjutnya?
Kalau saya cukup tertarik. Ketika membaca buku Goodbye
Things ini saja, saya pun sembari memilah barang-barang yang sebatas jadi
hiasan saja dan memutuskan memberikan barang yang bisa dimanfaatkan oleh orang
lain atau membuangnya bila itu benar-benar tidak bisa dimanfaatkan lagi.
Hingga pada akhirnya pun, buku Fumio Sasaki ini benar-benar menumbukan berbagai perspektif baru dalam kehidupan saya. Utamanya tentang kebahagiaan itu sendiri.
Saya tersadar, bila kebahagiaan itu bukan sebatas tentang
hawa nafsu duniawi. Misalkan saja jika orang lain (tetangga, saudara, adik,
dll) punya ini, kita pun harus punya “itu” juga. Bukan, kebahagian bukan
tentang hal tersebut.
Kebahagiaan itu sesederhana ketika kita puas dan merasa
cukup dengan kehidupan yang dijalani. Enggak perlu repot-repot memusingkan
standar kebahagiaan orang lain. Sebab kita
mempunyai standar kebahagian sendiri–yakni sebagai seorang minimalis.
0 Comments