Dampak Perang dan Pentingnya Pendidikan dalam Totto-chan’s Children ( A Goodwill Journey to the Children of the World)


Nama Totto-chan mungkin sudah tidak asing lagi diingatan. Mungkin sebagian dari kalian yang tengah bergelut dalam dunia pendidikan juga sangat familiar. Masih ingat dong dengan Gadis Cilik di Jendela? Nah itulah, "Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela". 

Salah satu hal yang sangat kental dalam novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela  adalah Mr. Kobayashi, kepala sekolah Tomoe. Mr. Kobayasi adalah pria yang sangat mempedulikan tentang pendidikan anak, dia berkeyakinan bahwa pendidikan dasar anak  adalah yang paling penting. Sehingga dia mendirikan Sekolah Tomoe yang akrab dikenal dengan sebutan Sekolah Gerbong Kereta.

Totto-chan Childrens



Mr. Kobayashi begitu menginspirasi murid-muridnya, begitu pula lah yang terjadi pada Tetsuko Kuroyanagi atau lebih dikenal dengan nama kecilnya Totto-chan. Kecintaan Mr. Kobayashi terhadap anak-anak seolah-olah diturunkan kepada Tetsuko. Karena setelah menuliskan masa kanak-kanaknya, kemudian Tetsuko menuliskan buku kedua yang berisi tentang perjalanan sebagai duta kemanusiaan UNICEF. Dari buku kedua ini yang berjudul Totto-chan’s Children (A Goodwill Journey to the Children of the World), dia menceritakan pengalamannya saat bertemu dengan anak-anak diberbagai negara.

Tentu saja buku kedua berbeda jauh dengan yang pertama, meski ada sedikit persamaan yakni menceritakan tentang perang. Akan tetapi di buku pertama hanya sekilas, ditulis ketika Tetsuko akan mengungsi akibat perang. Sedangkan di buku kedua, dia menuliskan secara jelas bagaimana akibat terjadinya perang. Terlebih bagaimana pengaruh peristiwa tersebut terhadap psikologi korban.

Dalam buku kedua, Tetsuko menyayangkan kenapa harus ada perang. Mungkin bukan Tetsuko saja yang berpikiran seperti itu, anak-anak, ibu, bapak, ataupun siapa saja yang menjadi korban atau bukan juga pasti akan menyayangkan hal serupa. Jika bisa diselesaikan berunding secara kekeluargaan mengapa tidak? Akan tetapi, beda negara, suku, ras, adat beda pula cara menanganinya, sehingga muncul dan meletuplah perang tersebut.

Buku Tetsuko memberikan kesadaran kepada saya, bahwa seharusnya saya terus bersyukur dapat hidup di negara yang kaya ini. Dapat hidup nyaman di negara berkembang meskipun masih penuh dengan tikus-tikus berdasi, akan tetapi masih bisa tersenyum, makan teratur dan bergizi, minum dengan sesuka hati, dapat fasilitas untuk belajar, ada akses kendaraan, ada rumah yang bisa untuk berteduh dan bercengkerama dengan sanak saudara, dan yang terpenting dapat tidur tenang tidak takut akan ada bom, ranjau darat, atau serangan lainnya.

Namun bagaimana dengan saudara-saudara kita di belahan dunia lain? Atau pada masa perang ketika Tetsuko menjalankan tugasnya sebagai duta kemanusiaan UNICEF sekitar tahun 1984. Bahkan saat ini pun, masih banyak ekspansi yang terus meletup. Mengenai masalah politik, sumber daya alam, bahkan ras, agama sekarang menjadi tabu dan menjadi sumber perpecahan yang tiada henti. Kemudian, bagaimana nasib anak-anak yang tidak tahu apa-apa, saya yakin mereka bertanya kenapa harus ada perang? Bahkan dalam bukunya Tetsuko menjelaskan bahwa anak-anak pada saat perang saudara yang terjadi di Rwanda tahun 1994 tidak tahu mana yang sekutu dan yang musuh. Mereka dituntut untuk jeli dan peka dalam ketakutan dan kekhawatiran yang melanda.

Banyak sekali dampak yang terjadi akibat perang, hal utama pasti berdampak bagi korban selamat. Bagaimana cara mereka agar dapat menata hidup dalam (maaf) hal yang menjadi serba kekurangan. Maka timbullah berbagai masalah setelah perang tersebut mereda. Selain sebuah warisan penderitaan, bahan pokok yang menjadi langka, tidak utuhnya tempat tinggal, muncul berbagai virus dan penyakit, dan banyak juga korban selamat akan tetapi mereka harus menerima ketidaklengkapan anggota tubuh seperti sedia kala.

Seperti yang telah diungkapkan oleh Duta Kemanusiaan ini, bahwa banyak sekali anak-anak yang meninggal akibat kekurangan gizi dan penyakit. Bahkan, terjadi perubahan pada sikap anak. Mereka lebih banyak melamun, mengalami emosi yang tidak stabil, menjadi lebih menutup diri, bahkan ada yang tidak bisa bicara karena trauma. Jika dilihat dari hal tersebut, betapa besar dan berpengaruhnya dampak perang tersebut.

Meski begitu, tak sedikit anak-anak yang menjadi korban berharap dan begitu menginginkan mereka bisa bersekolah kembali. Salah satu keinginan dari anak-anak itu berasal dari Haiti berdasarkan kunjungan Tetsuko pada 1995. Bahkan ada beberapa negera yang pernah dikunjungi, pemerintah berusaha keras untuk memulihkan pendidikan di negaranya. Pemimpin negera itu mengungkapkan pendidikan adalah hal penting bagi kemajuan negaranya.

Tak sedikit orang dewasa yang peduli terhadap pendidikan anak-anak mendirikan sekolah dengan seadanya. Meski dengan dinding yang berlubang akibat peluru, keterbatasan sarana dan prasarana, tidak menyurutkan mereka untuk tetap belajar. Sungguh berbanding terbalik dengan kehidupan modern saat ini, dan di belahan dunia lain. Anak-anak korban perang itu, lebih memiliki jiwa besar dan berpikir bahwa pendidikan adalah jalan keluar untuk mereka.

Jujur, saya malu pada diri. Dalam kondisi yang sedemikian sulit itu mereka masih dan tetap mengedepankan pendidikan. Mereka mengharapkan bahwa pendidikan dapat mengubah kehidupan setelah meredanya perang. Dari beberapa peristiwa di atas saya menyadari betul, bahwa pengaruh pendidikan sangatlah penting. Kemungkinan besar alasan itulah yang menjadi pondasi banyak orang dalam menyerukan bahwa pendidikan akan menganggakat derajat seseorang, dapat mengubah karakter seseorang dan dari pendidikan kita mengerti tentang berbagi, mengabdi atas ilmu yang telah didapat. 

Dari buku ini saya diajarkan, bahwa pendidikan tidak akan mengenal apakah kamu orang berada, apakah kamu pintar ataupun berkuasa. Akan tetapi yang dikenal pendidikan itu adalah kamu mau, dan melakukannya dengan sepenuh hati.

Hikmatul Ika

Manusia yang menyukai dunia kepenulisan, baik sebagai blogger dan Pengarang.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form